Jenis Fonem Jenis fonem yang dibicarakan di atas (vokal dan konsonan) dapat dibayangkan sebagai atau dikaitkan dengan segmen-segmen yang membentuk arus ujaran. Kata bintang , misalnya, dilihat sebagai sesuatu yang dibentuk oleh enam segmen — /b/, /i/, /n/, /t/, /a/, /Å‹/. Satuan bunyi fungsional tidak hanya berupa fonem-fonem segmental. Jika dalam fonetik telah diperkenalkan adanya unsur-unsur suprasegmental, dalam fonologi juga dikenal adanya jenis fonem suprasegmental. Dalam bahasa Batak Toba kata /itÉ™m/ berarti '(pewarna) hitam', sedangkan /itÉ”m/ (dengan tekanan pada suku kedua) berarti 'saudaramu'. Terlihat bahasa yang membedakan kedua kata itu adalah letak tekanannya, sehingga dapat dikatakan bahwa tekanan bersifat fungsional. Lain lagi yang diperlihatkan dalam contoh bahasa Inggris berikut. Di sini perubahan letak tekanan tidak mengubah makna leksikal kata, tetapi mengubah jenis katanya. Kata benda Kata kerja ‘import ‘impor’ ...
1. Ekonomi dan Negara
Hubungan antara ekonomi dan negara dapat dipahami melalui teori negara dari Konfusius yang mempunyai pengaruh besar di Jepang. Dasar pikiran Konfusius tentang masalah ini adalah "kemanunggalan ekonomi dan negara." Maka pada era Tokugawa kata keizai yang dalam pemakaian modern diterjemahkan sebagai ekonomi, dalam ungkapan Dazai Shundai berarti "memerintah kekaisaran dan membantu rakyat."(5)
Para pemikir Konfusian melihat adanya kaitan yang langsung antara kesejahteraan ekonomi dan moralitas, dan inilah di atas segalanya, yang menurut mereka menentukan nilai politik dari kehidupan ekonomi. Walaupun para pemikir Konfusian mengajarkan bahwa moralitas harus dipegang teguh tanpa peduli kondisi ekonomi, mereka cukup realistis untuk menyadari bahwa prinsip seperti ini tidak terlalu mudah untuk dipenuhi oleh orang kebanyakan.
Mencius berkata:
Hanya orang terdidiklah yang, tanpa tingkat kesejahteraan hidup tertentu, tetap dapat mempertahankan kejujuran hati. Sedangkan bagi orang kebanyakan, jika tidak ada tingkat kesejahteraan hidup tertentu, mereka tidak akan dapat mempertahankan kejujuran hati. Dan jika mereka tidak mempunyai hati yang jujur, apa pun akan mereka lakukan, tidak mengurus diri, moral yang bengkok, kebejatan dan kejangakan yang liar.(6)
Jika mereka tidak mempunyai tingkat kesejahteraan hidup tertentu, rakyat akan "tidak bisa diatur." Ini adalah dasar ideologis yang kuat yang mendasari perhatian terhadap kehidupan ekonomi rakyat yang merupakan ciri dari para penguasa Tokugawa.
Inti dari kebijakan ekonomi Konfusian yang disusun untuk menjamin stabilitas politik tercakup dalam penyataan dari Ta HsÃœeh yang sangat sering dikutip:
Ada jalan utama (tao) untuk menghasilkan kekayaan. Hendaknya produsen lebih banyak dan konsumen lebih sedikit. Hendaknya banyak kegiatan untuk produksi tetapi penghematan dalam pembelanjaan. Oleh karena itu akan selalu cukuplah kekayaan yang ada.(7)
Inilah intisari dari kebijakan ekonomi Konfusian, yang secara rinci berarti: dorong produksi dan kurangi konsumsi. Pengurangan konsumsi mengambil dua bentuk utama, lahir dan batin. Bentuk batin adalah pembatasan keinginan dan bentuk lahir adalah pembatasan pengeluaran, artinya ekonomi ugahari. Hsun Tzu menyatakan dalam kaitannya dengan yang pertama:
...jika nafsu dibiarkan merajalela, kuasa mereka tak akan berlangsung, dan segala sesuatunya tak akan cukup untuk memuaskan mereka.(8)
Mencius memberikan pernyataan yang banyak kali dikutip tentang hal ini:
Untuk memelihara hati tidak ada cara terbaik kecuali menahan nafsu. Inilah orang yang nafsunya terkendali: dalam beberapa hal dia mungkin tidak bisa menahan hati, tetapi itu sangat jarang terjadi. Inilah orang yang nafsunya tak terkendali: dalam beberapa hal dia mungkin bisa menahan hati tetapi itu sangat jarang terjadi.(9)
Sikap hemat ditekankan baik bagi mereka yang di atas maupun di bawah. Tidak adanya sikap ini dianggap mempunyai akibat-akibat politis yang langsung. Dalam kaitannya dengan mereka yang di bawah, Konfusius berkata, "Sikap bermewah-mewah akan mengarah kepada pembangkangan, dan sikap kikir kepada kehinaan. Lebih baik hina daripada membangkang."(10) Dalam kaitannya dengan penguasa, Kaibara Ekiken (1630-1714) menyatakan dalam bukunya Kunshikun:
Jika penguasa ingin memerintah rakyatnya dengan kebajikan, dia harus melaksanakan sikap hemat. Produktivitas tanah ada batasnya, sehingga jika penguasa terbiasa bermewah-mewah dan boros, sumber daya yang ada dalam kekuasaannya akan segera kering dan dia akan berada dalam kesulitan untuk mencukupi kebutuhannya. Hal ini sangat mungkin terjadi terutama karena panen kadang-kadang bisa gagal. Jika penguasa berada dalam kesulitan keuangan, tidak mungkin baginya untuk berlaku dermawan, untuk membantu mengatasi kesulitan mereka yang miskin. Lebih jelek lagi, dia akan terpaksa melakukan pemerasan, karena sendirinya terdesak hutang sehingga menjadikan negaranya berada dalam kekacauan. Pemerintah yang baik tidak mungkin lagi ada dalam kondisi seperti itu. Semua penguasa yang bijak selalu hemat. Sikap hemat, memang dasar kebajikan yang penting bagi penguasa.(11)
Dari tinjauan singkat tentang pandangan Konfusian mengenai ekonomi politik di atas dapatlah ditangkap bahwa sebetulnya yang diutamakan adalah sistem yang imbang. Produksi dimaksudkan agar kebutuhan tercukupi dan penghematan diterapkan agar kecukupan itu tidak terganggu. Cara pandang ini jelas kuat pada masa Tokugawa Jepang. Tetapi, terlihat bahwa pandangan ini juga selalu digabung dengan sudut pandang lain yang mungkin lebih khas Jepang. Secara khusus hal ini tercermin paling jernih dalam etika ekonomi Bushidõ. Sebagaimana telah dipaparkan dalam bab terdahulu sikap rajin dan hemat adalah aspek penting dalam Bushidõ. Namun, pada dasarnya kedua sikap ini tidak disebabkan karena kepedulian akan keseimbangan dan stabilitas tetapi lebih karena pengabdian tanpa pamrih kepada pangeran atau atasan. Keduanya dilihat lebih sebagai pencapaian tujuan bukan sebagai penggabungan sistem. Samurai pada Era Tokugawa tidak sepenuhnya secara langsung terlibat dalam ekonomi, artinya, tidak secara jabatan terlibat dalam kegiatan bisnis. Tetapi etika ekonomi samurai menjadi penting dalam kaitannya dengan hal ini karena dua alasan. Pertama, dia mempengaruhi etika mereka yang secara langsung terlibat dalam ekonmi pada Era Tokugawa. Kedua, dia juga penting untuk memahami perilaku sejumlah besar samurai yang memegang peran penting dalam bisnis dan industri pada Era Meiji.
Satu hal yang membedakan pandangan ekonomi politik Jepang dari pandangan Cina adalah penekanannya pada dinamisme satu arah dalam pencapaian tujuan dan pengorbanan tanpa pamrih dari setiap anggota kolektivitas untuk pencapaian tujuan bersama dari pada pencapaian harmoni ideal yang statis. Memang pada masa Tokugawa dua pandangan ini berbaur secara sangat erat dan hanya bisa dipisahkan dalam tingkat analisis saja. Di sini perlu diperhatikan bahwa ternyata sikap rajin dalam berproduksi dan hemat dalam pembelanjaan terdapat dalam kedua cara pandang tersebut. Kenyataan ini merupakan alasan mengapa dua cara pandang itu saling baur. Namun, saya rasa hal ini juga disebabkan karena sering kali tuntunan-tuntunan nyata seperti yang dikutip dari karya-karya kuno di atas telah ditafsirkan dalam konteks cara pikir etika "Jepang" yang akibat akhirnya justru memperkuatnya. Jika hal ini benar maka penafsiran dari semua tuntunan tersebut akan sangat berbeda bagi orang Cina.
Pikiran ekonomi politik mempunyai arti penting tidak hanya pada tataran teoritik saja tetapi mempunyai dampak nyata dalam kebijakan ekonomi pemerintah. Tinjauan terhadap beberapa kebijakan ini mungkin akan membantu memperjelas pemahaman tentang teori-teori tersebut.
Himbauan moral selalu merupakan suatu bagian penting dalam kebijakan pemerintah dan hal ini berlaku dalam hal dorongan untuk berproduksi sebagaimana dalam bidang-bidang lain. Nasehat untuk bekerja keras, tidak melalaikan pekerjaan, tidak membuang-buang waktu, dan sebagainya, menjadi nada dasar peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah dan diperuntukkan bagi gonin-gumi atau kepada rakyat. Namun, pemerintah sama sekali tidak membatasi dirinya dengan hanya kesibukan memberi nasehat saja. Bakufu dan banyak han secara sangat giat melakukan tindakan-tindakan yang mendorong dibukanya sawah-sawah baru dengan cara memberikan keringanan pajak dan kemudahan-kemudahan lainnya. Tindakan ini jelas merupakan sebagian penjelasan mengapa luas tanah pertanian berkembang dua kali lipat sejak awal pemerintahan Tokugawa sampai awal abad 18 dan bahkan mungkin tiga kali lipat pada tahun 1868.(12) Lebih jauh, bakufu secara aktif memperkenalkan jenis-jenis tanaman baru, mendirikan ladang-ladang percobaan untuk penelitian sehingga akhirnya saran-saran yang tepat bisa diberikan kepada para petani. Di antara tanaman yang diperkenalkan adalah ginseng dan gula, keduanya kemudian ditanam dalam areal yang luas.(13) Dengan cara pandang seperti ini tidaklah mengherankan jika bakufu juga memulai inisiatif untuk membangun galangan kapal, gudang persenjataan dan pengecoran logam pada tahun-tahun terakhir keberadaannya.(14) Seberapa jauh motivasi untuk kebijakan-kebijakan ini dilatarbelakangi oleh keinginan untuk menjaga satu ekuilibrium statis dan seberapa jauh disebabkan oleh alasan ingin membangun satu negara yang kuat dan kaya sebagai tujuan, jelas sulit ditentukan, tetapi kedua motivasi tersebut pasti ada. Perlu diketahui bahwa han bergerak bahkan lebih jauh dari bakufu dalam mendorong produksi. Pada umumnya merekalah yang mendorong dikembangkannya industri-industri seperti pembuatan kertas, pembuatan lilin, pernis dan sutra di wilayah mereka dan terlibat dalam pengambilan keuntungan dari penjualan produk-produk ini di pasar umum.(15)
Kebijakan pemerintah yang mendorong ekonomi sama kuatnya dengan imbauan moral yang diberikannya. Aturan-aturan gonin-gumi dengan keras memperingatkan orang untuk tidak bersenang-senang, bermewah-mewah, menenggelamkan diri dalam olahraga dan perjudian. Peraturan yang mengecam kemewahan ditempel di setiap papan pengumuman pemerintah. Peringatan-peringatan tersebut diperkuat oleh hukum yang secara sistematik mengontrol dan mengatur pengeluaran serta konsumsi orang sehingga bisa mencegah tindakan bermewah-mewah. Memang banyak sekali peraturan-peraturan itu berhasil dielakkan dengan menggunakan muslihat yang cerdik tetapi pada umumnya diterapkan secara konsisten dan memberikan ancaman hukuman berat bagi siapa yang melanggar. Setiap "penataan kembali" pemerintahan yang dilakukan pada masa itu selalu berusaha menurunkan anggaran belanja pemerintah terutama dengan cara mengurangi kemewahan di istana shogun. Ada beberapa masa di mana kegiatan bisnis yang berkaitan dengan kemewahan sepenuhnya dilarang dan teater serta tempat-tempat hiburan sangat dibatasi. Mungkin kebijakan pemerintah yang paling drastis adalah penyitaan seluruh harta milik para pedagang yang dianggap terlalu mewah dan berlebihan dalam pengeluaran mereka. Tindakan tersebut sebenarnya dimaksudkan untuk menindas kekuasaan kelas pedagang. Masih perlu dipertanyakan apakah maksud ini berhasil dicapai.
Takekoshi, dalam memberikan komentarnya tentang penyitaan terbesar yang pernah terjadi yang dilakukan terhadap Yodoya, menulis:
Semua pedagang Osaka tercekam rasa panik dan dengan sungguh-sungguh menunjukkan bahwa mereka mempraktekkan kebiasaan hemat dan cermat, yang justru semakin menjadikan kekayaan mereka menumpuk, sehingga akibat dari penyitaan Yodoya sebenarnya adalah bahwa kekuasaan harta semakin besar dan menguat...(16)
Kebijakan selanjutnya adalah reklamasi tanah, termasuk mengubah para samurai menjadi petani; dia memperkenalkan pohon murbei dan juga mendirikan industri sutra yang segera berkembang; dia mengharuskan setiap keluarga untuk menanam pohon pernis dan selanjutnya mendirikan industri ini. Dia membuat karya-karya bangunan yang hebat dalam upayanya menyempurnakan sistem irigasi. Sebagai akibat semua kebijakan tersebut Yonezawa menjadi salah satu han termakmur di Jepang.
Satu hal yang menarik dari pembaharuan Uesugi adalah diangkatnya juru dakwah keliling untuk setiap distrik yang ada di wilayahnya. Mereka ditugaskan untuk menanamkan nilai luhur dari sifat rajin, jujur dan hemat di samping upacara-upacara Konfusian dan kekayaan. Para pendakwah itu harus bertanggung jawab terhadap keteguhan moral penduduk di wilayah yang menjadi tanggung jawabnya. Selanjutnya, satu universitas Konfusian didirikan dan Hosoi menjadi rektornya. Universitas ini memberikan beasiswa kepada mereka yang berbakat tetapi miskin. Pada masa berikutnya di situ ditambahkan jurusan kedokteran yang mengajarkan ilmu kedokteran Belanda yang baru.
Seberapa besar pun kemiripan pembaharuan sebagaimana dilakukan Yonezawa dengan model Konfusian Cina, tetap saja orang akan bisa merasakan bahwa ketegaran dan disiplin pelaksanaannya, intensitas kontrol yang diterapkan mulai dari para pangeran feodal sampai para petani termiskin, adalah wajah nyata dari etika Jepang yang tercermin dalam Bushidõ dan ide-ide yang berkaitan dengannya sebagaimana telah dibahas dalam bagian-bagian sebelum ini. Pandangan-pandangan Konfusian yang sangat rasional dan realistis mengenai masalah ekonomi (mereka jelas jauh mendahului ide lokal Jepang yang manapun tentang masalah ini) cenderung mengambil bentuk dinamisme ketika disatukan dengan nilai-nilai Jepang, yang sering kali tidak terdapat di Cina.
Sejauh ini hubungan antara ekonomi dan negara telah dibahas lebih banyak dari sudut negara dan kebijakan negara. Sekarang marilah kita lihat hubungan yang sama dari sudut ekonomi dan dari sudut lembaga-lembaga ekonomi dan sosial lainnya.
Teori Konfusian mengenai perkembangan sosial dalam versi yang cukup ortodoks dapat diambil dari Yamaga Soko (1622-1685), yang menulis dalam bukunya Yamaga Gorui:
Walaupun semua orang tidak sama pangkat dan kelasnya, asal mereka sama. Munculnya perbedaan kelas memang tidak dapat dihindari. Agar dapat bertahan hidup orang harus makan. Ini menjadikan mereka perlu bercocok tanam. Karena pekerjaan tani tidak bisa dikerjakan dengan baik hanya dengan tangan, alat-alat pertanian harus dibuat dari bambu, kayu, besi, dan sebagainya, dan untuk itu pengrajin diperlukan. Karena para pembuat peralatan tersebut tidak bisa berjalan sendiri menjual hasil produksinya ke distrik-distrik yang jauh, diperlukan perantara yang menghubungkan para pengrajin ini dengan para pembeli, dan para perantara ini membentuk kelas pedagang. Dengan cara inilah tiga golongan orang—petani, pengrajin, dan pedagang—terbentuk. Kendati demikian, jika masing-masing hanya mengikuti kepentingannya sendiri tanpa mempedulikan kepentingan lainnya—petani ingin hidup enak tanpa bekerja keras di bidang pertanian, pengrajin berusaha mendapatkan untung besar dengan membuat barang-barang bermutu rendah, dan pedagang mencari untung dengan cara tidak jujur—praktek-praktek buruk dan kericuhan akan meningkat, sehingga prinsip-prinsip moral akan hancur. Pemerintah yang diadakan ini dimaksudkan untuk kebaikan seluruh rakyat, bukan untuk keuntungan dirinya sendiri. Di bawah pimpinannya, budaya, moral umum dan ketentraman akan terjaga di seluruh negeri. Karena Raja memerintah jika ada rakyat dan karena Negara dibentuk jika Raja memerintah, rakyat haruslah diperlakukan sebagai dasar eksistensi nasional.(18)
Di sini kita melihat suatu teori fungsional atau organik tentang masyarakat, status dan diferensiasi fungsional didasarkan kepada kenyataan-kenyataan obyektif dan kebutuhan. Cara pikirnya rasional, hampir-hampir protoilmiah (protoscientific). Apa yang tergambar adalah suatu sistem di mana masing-masing bagian penting untuk lainnya dan bahkan alasan keberadaannya didasarkan kepada fungsi-fungsi yang diperankannya bagi lainnya. Dalam pengertian seperti ini raja tidak berbeda dari elemen-elemen masyarakat lainnya. Apa yang kita lihat adalah bayangan dari "teori organ" kaisar. Yang menarik adalah bahwa Yamaga, salah satu propagandis awal terpenting dari kokutai dan sonnõ, telah mengutarakan secara sangat terbuka teori Konfusian ini.
Teori masyarakat Konfusian ini pada dasarnya suatu teori ekuilibrium. Jika setiap bagian melaksanakan fungsinya semua akan beres. Jika salah satu bagian rusak seluruh sistem akan terancam kekacauan. Analogi-analogi dengan cara kerja alam sangat umum berlaku dalam cara pikir Konfusian. Implikasi dari teori ini adalah tindakan-tindakan yang memelihara ekuilibrium yang harmonis dengan cara menjaga agar setiap bagian melaksanakan perannya. Kutipan dari Muro Kyusõ, seorang Konfusian Tokugawa terkenal lainnya, mungkin akan lebih menjelaskan teori ini. Setelah membahas cara agar para petani, pengrajin dan pedagang melaksanakan kewajiban mereka sebaik mungkin, dia berkata:
Mengapa petani, pengrajin, dan pedagang seperti ini? Karena mereka menjadikan pikiran langit dan bumi sebagai pikiran mereka; mereka menjadikan urusan transformasi langit dan bumi sebagai urusan mereka; mereka memandang orang lain masing-masing sebagai bagian dari satu keluarga; mereka mencintai kerja dan tidak suka menyebabkan orang lain harus bekerja; mereka membantu Jalan langit dan bumi dan melaksanakan transformasi langit dan bumi; dan mereka tidak mengeluh karena kesusahan yang mereka derita. Karena semua itu maka petani, pengrajin, dan pedagang saling peduli satu sama lain; masing-masing bekerja sama; mereka saling memelihara satu sama lain... Tetapi jika mereka mengejar keuntungan dan merusak pengaturan yang sempurna, karena mereka tidak peduli satu sama lain dan memaksa orang lain bekerja tetapi tidak mau bekerja untuk orang lain, maka petani tidak bercocok tanam untuk kekaisaran, pengrajin tidak berproduksi untuk kekaisaran, pedagang tidak berdagang untuk kekaisaran, mereka mencuri kekayaan kekaisaran, mereka mengaburkan Jalan langit, dan mematahkan transformasi langit.(19)
Apa yang berkembang dari teori kemasyarakatan ini adalah satu konsep okupasi (kedudukan sosial atau jabatan) yang sangat menarik. Kata shokubun, yang dapat diterjemahkan sebagai jabatan atau kedudukan sosial, mempunyai arti yang sedikit berbeda dari pengertian dalam bahasa Inggris misalnya. Dia mempunyai pengertian bahwa okupasi bukan suatu tujuan yang terpisah tetapi suatu bagian dari masyarakat. Istilah tenshuko, walaupun tidak seumum shokubun, memberikan gambaran lebih jelas tentang konsep okupasi. Huruf pertama dalam istilah itu berarti "langit" dan implikasinya adalah "okupasi luhur" atau "panggilan luhur". Artinya satu okupasi atau panggilan yang ditentukan dari langit. Hal ini menunjukkan adanya penyesuaian antara pandangan sosial dan pandangan kosmis atau religius, sebagaimana ditunjukkan dalam kutipan Kyuso di atas. Dalam pandangan Konfusian murni hal ini berarti bahwa panggilan merupakan suatu kewajiban yang pasti dan sudah tertentu yang menjadi batas antar kelas dan kelompok fungsional di masyarakat. Setiap individu berkewajiban memenuhi panggilannya sebaik mungkin dan menerima dengan pasrah takdir bagi dirinya yang telah menjadi ketetapan dari langit. Jadi sebenarnya satu pandangan tentang okupasi yang cenderung statis, serupa dengan pandangan Thomas dan para skolastik lain abad pertengahan di Barat.
Teori kemasyarakatan dan konsep jabatan di atas jelas banyak berpengaruh pada Era Tokugawa. Namun, pada akhir bab terdahulu kita telah membahas satu konsep pemerintahan nasional yang tidak sepenuhnya sama dengan konsep yang sedang kita bahas ini. Selanjutnya, ternyata teori Konfusian murni banyak dianut juga oleh pendukung setia Bushidõ dan kokutai seperti dalam kasus Yamaga Soko. Karena itu, perlu kita lihat hubungan dua pandangan tersebut untuk mengukur apakah makna teori Konfusian telah berubah sesuai konteksnya yang baru.
Apa yang dimaksudkan dengan perubahan makna tersebut adalah berbaurnya konsep jabatan sebagaimana dijelaskan di atas dengan konsep kewajiban membalas on yang tak terbatas. Kedudukan atau jabatan sebagai samurai merupakan purwarupa (prototipe) berbaurnya dua konsep ini. Kewajiban dan tugas dalam jabatan ini dianggap sebagai memenuhi kewajiban kepada tuannya. Kewajiban ini harus dipenuhi dengan pengabdian penuh dan tanpa mempertimbangkan kepentingan diri. Tetapi pada masa Tokugawa sikap ini tidak berlaku hanya di kalangan kelas samurai saja. Semua kelas dituntut untuk loyal dan membalas budi kokuan atau rahmat bangsa. Pandangan bahwa jabatan adalah alat untuk memenuhi kewajiban seseorang yang tanpa batas kepada tuannya semakin lama semakin kuat dianut, sebagaimana akan ditunjukkan nanti. Pandangan ini cenderung melihat masyarakat sebagai sesuatu yang bergerak ke satu arah, yaitu pemenuhan kewajiban kepada para pemimpin dan atasan, dan tidak sebagai suatu ekuilibrium harmonis yang harus dijaga. Bersama dengan berjalannya waktu fokus kesetiaan ini semakin lama semakin memusat pada diri kaisar sampai-sampai Tachibana no Moribe (1781-1849) menulis:
Mulai dari Yang Mulia yang mengepalai para pegawai pemerintah sampai kepada yang terendah—walaupun ada perbedaan antara yang tinggi dan rendah—karena masing-masing dari mereka adalah hamba Penguasa, mereka menulis demi Paduka, menyembuhkan penyakit demi Paduka, dan berdagang demi Paduka.(20)
Selain perubahan fokus ini, ciri-ciri pandangan Konfusian lainnya tetap bertahan. Orang tetap dianggap berhutang budi, baik kepada masyarakat pada umumnya maupun kepada para pemimpin, dan pemimpin berhutang budi kepada bawahan karena manfaat yang didapat dari mereka. Tetapi kewajiban pokok yang dicerminkan oleh konsep kokutai menjadikan konsep okupasi suatu potensi dinamis yang terbuka yang tidak terdapat dalam cara pandangan harmonistik Konfusian murni. Sekali lagi ide-ide Konfusian mendapatkan warnanya yang berbeda dalam konteks Jepang. Konsep organisme sosial dan keharusan adanya harmoni antar setiap bagian tetap dipertahankan, tetapi seluruh bagian dipandang lebih rendah dari tujuan akhir. Di sini sekali lagi kita melihat nilai-nilai pencapaian tujuan yang lebih berperan dari nilai-nilai pemeliharaan sistem.
Secara singkat kecenderungan yang kita bahas sejauh ini dapat dikatakan sebagai "penetrasi nilai-nilai politik ke dalam ekonomi." Perlu diingat bahwa nilai-nilai politik yang dimaksudkan di sini terintegrasi penuh ke dalam konsep-konsep religius, sebagaimana telah dikemukakan dalam bab di muka. Walaupun banyak ciri dari penetrasi ini mempunyai akibat yang secara ekonomis tidak rasional, terutama jika motif-motif politik sepenuhnya dimaksudkan untuk memelihara status quo dan sistem kontrol sosial yang kaku agar tetap berlaku, sejauh itu semua berakibat pada peningkatan produksi, meningkatkan ekonomi, dan menumbuhkan satu konsep dinamis tentang panggilan, penetrasi ini jelas berakibat sangat menguntungkan bagi rasionalisasi ekonomi.
Pada bagian-bagian yang akan datang pembahasan akan bersifat lebih konkret melihat etika ekonomi pedagang dan petani, selain tentang hubungan antara kepatuhan kepada orang tua dan sistem kekeluargaan dengan etika ekonomi.
Baca: Buku Religi Tokugawa, Akar-akar Budaya Jepang
-------------------------------------------
(6) Legge, Chinese Classics, vol. II, hlm. 23
(7) Ibid., vol. I, hlm. 243
(8) Dubs, The Works of Hzuntze, hlm. 65
(9) Legge, op. cit., vol. II, hlm 373
(10) Ibid., vol. I, hlm. 71
(11) Honjo, "Economic Ideas in Tokugawa Days", hlm. 5
(12) Smith, N.S., "Materials on Japanese Social and Economic History", hlm. 19. Angka-angka ini cenderung tidak sesuai dengan pendapat yang banyak dipercaya bahwa penduduk Jepang pada Era Tokugawa bertahan pada tingkat sedikit di bawah 30 juta.
(13) Horie, "An Outline of Economic Policy in the Tokugaway Period."
(14) Smith, T.C., "The Introduction of Western Industry to Japan During the Last Years of the Tokugawa Period."
(15) Horie, "The Encouragement of Kokusan or Native products in the Tokugawa Period."
(16) Takekoshi, The Economic Aspects of the History of the Civilization of Japan, vol. III, hlm. 255
(17) Murdoch, A History of Japan, vol. III, hlm 386
(18) Hinjo, "Economic Thought in the Early Period of the Tokugawa Era", hlm. 4
(19) Azuma, op. cit., hlm. 4
(20) Hall, R.K., Kokutai no Hongi, hlm. 86
Comments
Post a Comment