Jenis Fonem Jenis fonem yang dibicarakan di atas (vokal dan konsonan) dapat dibayangkan sebagai atau dikaitkan dengan segmen-segmen yang membentuk arus ujaran. Kata bintang , misalnya, dilihat sebagai sesuatu yang dibentuk oleh enam segmen — /b/, /i/, /n/, /t/, /a/, /Å‹/. Satuan bunyi fungsional tidak hanya berupa fonem-fonem segmental. Jika dalam fonetik telah diperkenalkan adanya unsur-unsur suprasegmental, dalam fonologi juga dikenal adanya jenis fonem suprasegmental. Dalam bahasa Batak Toba kata /itÉ™m/ berarti '(pewarna) hitam', sedangkan /itÉ”m/ (dengan tekanan pada suku kedua) berarti 'saudaramu'. Terlihat bahasa yang membedakan kedua kata itu adalah letak tekanannya, sehingga dapat dikatakan bahwa tekanan bersifat fungsional. Lain lagi yang diperlihatkan dalam contoh bahasa Inggris berikut. Di sini perubahan letak tekanan tidak mengubah makna leksikal kata, tetapi mengubah jenis katanya. Kata benda Kata kerja ‘import ‘impor’
1. Latar Belakang Historis
Ketika religi besar di Jepang mempunyai hubungan yang erat dengan dunia politik pada masa-masa awal sejarah Jepang. Catatan tertua yang ditemukan tentang Shinto menunjukkan munculnya suatu kultus negara dari religi persukuan primitif yang ada pada waktu itu. Pada abad-abad awal Era Kristen, orang-orang Yamato berusaha memperkuat hegemoni mereka atas Jepang tengah, dan dalam melakukan upaya politik itu nampaknya mereka berhasil menciptakan mitologi versi mereka sendiri. Versi ini menggabungkan mitologi-mitologi yang mencakup berbagai hal sedemikian sehingga menjadikan Dewi Matahari, Amaterasu O-Mikami dan dewa-dewa leluhur para pemimpin orang Yamato sebagai yang lebih utama di atas seluruh dewa-dewa yang lain. Kegiatan-kegiatan religius dari pusat-pusat kuil besar terutama Ise dan Izumo, dikaitkan dengan fungsi-fungsi religius istana. Pimpinan Yamato juga menduduki jabatan religius, walaupun dia cenderung membebaskan diri dari tugas-tugas suci yang lebih rumit, yang dialihkannya ke pusat-pusat kuil, agar dia mempunyai keleluasaan yang lebih besar dalam bertindak. Namun demikian, pada prakteknya dia tetap pendeta agung kultus negara. Perlu diketahui bahwa kata dalam bahasa Jepang kuno untuk pemerintah adalah matsurigoto, yang berarti ibadat religius atau pemujaan.(1) Hal ini mengisyaratkan tidak adanya diferensiasi fungsi antara wilayah religi dan negara.
Seberapa jauh perkembangan yang terjadi di atas terpengaruh oleh Cina tidak dapat diketahui secara pasti. Kendati demikian, pengaruh langsung dari teori Konfusius terlihat jelas, paling tidak menjelang abad 17. Apa yang disebut Konstitusi Shotoku Taishi yang dikeluarkan pada tahun 604 Masehi, walaupun mengandung elemen-elemen Konfusius dan Budha, dalam hal yang berkaitan dengan teori pemerintahan sepenuhnya menunjukkan warna Konfusius. Konstitusi tersebut mengemukakan teori harmoni sosial yang didasarkan pada pengakuan semua orang atas kekuasaan tertinggi kaisar. Dalam teori Konfusius pengaruh penguasa tidak hanya bersifat politis tetapi juga etis, bahkan magis. Semua konsep yang dimasukkan ini berakibat semakin memperkuat landasan ideologis, magis maupun sekular bagi kedudukan keluarga penguasa. Pada kenyataannya memang baru pada waktu itulah digunakan kata "kaisar", bukan kepala. Bukan hanya teori religi dan etika mengenai peran kaisar dan pemerintahannya saja yang diambil dari Cina tetapi juga keseluruhan konsep dan kelembagaan hukum, administrasi, konsep harta milik dan banyak lagi lainnya. Walaupun banyak dari lembaga ini yang tidak berkembang atau mati karena memang diterapkan dalam konteks yang tidak sesuai, konsep monarki terpusat model Cina yang digabung dengan pandangan-pandangan lokal mengenai posisi keluarga penguasa yang mempunyai elemen adikodrati tetap berakar sepanjang sejarah Jepang.
Selain itu, sejarah awal Budhisme juga berkaitan sangat erat dengan pertimbangan-pertimbangan politik. Awal diperkenalkannya Budhisme berkaitan dengan perbuatan kekuasaan di kalangan para keluarga yang berpengaruh di sekitar tahta. Ketika kedudukan Budhisme di istana sudah mantap, dia diintegrasikan secara cukup kuat dengan aspirasi-aspirasi politik keluarga penguasa. Semua itu merupakan kekuatan yang besar untuk membantu mendukung kedudukan monarki. Di antara sutra awal yang mendapatkan banyak perhatian dalam dokumen-dokumen kuno adalah yang berkaitan dengan pertahanan negara, sebagaimana sudah disinggung di muka. Jelaslah bahwa berbagai kekuatan magi diterapkan di sekitar istana, sehingga sulit ditembus oleh para pendeta dari kultus pribumi yang manapun. Belakangan formulasi-formulasi metafisik dari beberapa sekte Budha digunakan untuk memperkuat posisi kaisar secara lebih luas lagi. Misalnya, doktrin sekte Kegon yang memandang semua Budha sebagai penjelmaan dari Budha agung Locana. Istana dalam doktrin ini dipandang sebagai suatu analogi dari hirarki negara yang ingin mereka perkuat supaya nantinya juga memberikan dukungan yang kuat kepada sekte ini. Pada pertengahan abad delapan sebuah candi besar didirikan untuk meletakkan patung raksasa Locana. "Dalam maklumat yang menjelaskan alasan didirikannya Candi agung Todaiji, Kaisar Shomu pada tahun 749 mengumumkan bahwa peraturan-peraturan dalam agama Budha dan hukum serta dekrit Kaisar harus dianggap satu, sehingga siapapun yang bersalah melanggar salah satunya, tidak peduli kedudukan atau kelasnya, akan ditimpa malapetaka yang dahsyat"(2) Selanjutnya doktrin-doktrin Tendai juga memberikan formulasi teoritik yang digunakan untuk memperkuat posisi monarki.
Dampak keseluruhan dari perkembangan yang beragam ini adalah terbentuknya konsep kesetiaan kepada kaisar yang dapat mengatasi ikatan keagamaan dan ikatan sekular. Jelas ini merupakan suatu langkah yang perlu untuk mengatasi penolakan terhadap rasionalisasi kekuasaan tradisionalistik-primitif. Marilah kita kutip satu contoh konkret untuk menggambarkan proses ini:
Berdasarkan perintah kaisar untuk membuat kapal, Kawabe-no-omi, tanpa mempedulikan teguran dari rakyat, menebang pohon-pohon di gunung-gunung yang disucikan bagi Dewa Guntur. Kemudian guntur memecah sangat keras memekakkan telinga, tetapi Dewa Guntur—dewa dalam religi alam—tidak bisa mencelakai Kawabe-no-omi, karena dia melakukan apa yang harus dia lakukan sebagai hamba yang setia kepada perintah kaisar Suiko (memerintah tahun 593-629), seorang dewa yang lebih tinggi dari dewa Guntur.(3)
Perkembangan Budhisme tidak sepenuhnya menguntungkan kemajuan rasionalisasi politik. Semakin dititikberatkannya ritualia dan magi di istana merupakan faktor yang memperlemah desakan pemusatan kekuasaan yang mulai terjadi pada abad delapan dan semakin menguat sampai munculnya feodalisme terpusat pada akhir abad 12.
Sebaliknya, pengaruh Konfusianisme masih tetap memberikan arah kepada rasionalisasi politik di abad-abad itu. Buku Keutamaan Ketaatan kepada Orang Tua (Hsiao Ching) secara khusus disebarluaskan. Menjelang akhir abad delapan buku itu diajarkan di semua sekolah, dan setiap anak kecil yang sudah bisa membaca hapal di luar kepala isinya. Atas perintah Kaisar Koken (memerintah 749-758) setiap rumah harus menyimpan satu eksemplar buku itu, walaupun perlu diragukan apakah perintah ini ditaati sebagaimana seharusnya. Bahkan pada masa Kamakura para samurai, yang tinggi ataupun yang rendah, walaupun mungkin tidak mempunyai buku lain, kemungkinan besar mempunyai buku itu. Arti penting buku itu mungkin dapat dilihat dari fungsinya yang menjadi alat pengukur semakin meningkatnya peran etika yang diajarkannya dalam masyarakat Jepang. Selama ketaatan kepada orang tua tetap menghasilkan sikap setia yang menjadi kebajikan tertinggi, dan selama prinsip itu diajarkan dalam kerangka nilai-nilai politik dan bukan mengutamakan nilai-nilai integratif, dan pada kenyataannya dua hal ini berlangsung pada abad-abad tersebut, semakin menguatnya pelembagaan etika ketaatan kepada orang tua dari Konfusius dapat dianggap sebagai suatu langkah ke arah rasionalisasi politik; keluarga sendiri dirembesi oleh nilai-nilai politik dan bahkan menjadi minatur dari negara.
Ajaran Konfusius mengenai keutamaan kesetiaan juga secara luas disebarkan dan mempunyai dampak yang cukup penting dalam perkembangan etika kelas prajurit atau ksatria: Bushido. Hal ini akan dibicarakan lebih lanjut dalam bagian berikut yang khusus membicarakan etika status ini. Apa yang ingin dikemukakan di sini adalah bahwa pada masa setelah usaha untuk membentuk satu monarki terpusat yang kuat pada abad tujuh dan delapan gagal, proses rasionalisasi politik ternyata tidak ikut berakhir. Rasionalisasi tetap berlangsung dalam bentuk meningkatnya kontrol intensif dalam unit-unit teritorial, yang dalam hal ini berarti wilayah feodal. Dengan demikian walaupun pada abad-abad dari tahun 1156 sampai 1600 terjadi perkembangan yang cukup pesat dalam administrasi pusat, perkembangan di tingkat menengah lebih menonjol. Pada masa-masa inilah Bushido dan sebagian besar isi dari nilai-nilai politik masa selanjutnya, bahkan jaman modern, dibentuk.
Menarik bahwa abad-abad yang menyaksikan pengagungan kesetiaan secara fanatik ini, harus juga melihat surutnya nasib baik keluarga kekaisaran dalam tingkatnya yang paling rendah. Hal ini dapat diterangkan oleh apa yang sudah diutarakan di atas. Kesetiaan terutama ditujukan kepada pangeran feodal sendiri. Tidak ada kewajiban lebih tinggi yang bisa mengatasinya. Tentu saja bukan ini saja yang menjadi penyebab. Terdapat usaha yang cukup gigih untuk mengembalikan kedudukan sentral monarki seperti pada abad 14, yang berhasil menimbulkan kembali semangat pengabdian kepada kekaisaran tetapi akhirnya berhasil ditindas. Produk sampingan yang menonjol dari perjuangan ini adalah buku sejarah Jepang yang ditulis oleh penulis terkenal Kitabake Chikafusa pada 1340. Tulisan ini merupakan pembenaran bagi adanya kekaisaran dan sangat kuat dipengaruhi oleh pandangan-pandangan Shinto dan Konfusius. Buku ini mengandung banyak pikiran yang nantinya akan kembali menjadi penting dan menonjol pada Era Tokugawa.
Baca: Buku Religi Tokugawa, Akar-akar Budaya Jepang
-------------------------------------------
(1) Sansom, Japan: A Short Cultural History, hlm.51
(2) Coates dan Ishizuka, op. cit., hlm. 15
(3) Kato, A Study of Shinto, hlm. 127
Comments
Post a Comment