Jenis Fonem Jenis fonem yang dibicarakan di atas (vokal dan konsonan) dapat dibayangkan sebagai atau dikaitkan dengan segmen-segmen yang membentuk arus ujaran. Kata bintang , misalnya, dilihat sebagai sesuatu yang dibentuk oleh enam segmen — /b/, /i/, /n/, /t/, /a/, /Å‹/. Satuan bunyi fungsional tidak hanya berupa fonem-fonem segmental. Jika dalam fonetik telah diperkenalkan adanya unsur-unsur suprasegmental, dalam fonologi juga dikenal adanya jenis fonem suprasegmental. Dalam bahasa Batak Toba kata /itÉ™m/ berarti '(pewarna) hitam', sedangkan /itÉ”m/ (dengan tekanan pada suku kedua) berarti 'saudaramu'. Terlihat bahasa yang membedakan kedua kata itu adalah letak tekanannya, sehingga dapat dikatakan bahwa tekanan bersifat fungsional. Lain lagi yang diperlihatkan dalam contoh bahasa Inggris berikut. Di sini perubahan letak tekanan tidak mengubah makna leksikal kata, tetapi mengubah jenis katanya. Kata benda Kata kerja ‘import ‘impor’ ...
2. Pemikiran Ishida Baigan
Pembahasan tentang pemikiran Baigan harus didasarkan pada dua bukunya, Toimondo dan Seikaron. Informasi tambahan bisa juga diambil dari riwayat hidupnya, Ishida Sensei Jiseki yang disusun oleh murid-muridnya, yang lebih banyak berisi uraian tentang hidup, kebiasaan-kebiasaan, dan anekdot-anekdot tentangnya. Baik Toimondo maupun Seikaron sama sekali tidak memaparkan doktrin yang runtut. Toimondo adalah kumpulan dialog, sebagaimana telah dinyatakan di atas, dan masalah-masalah yang berkaitan dengan doktrin selalu dibahas dalam konteks dalam konteks pertanyaan yang diajukan. Seikaron hampir sepenuhnya membahas masalah-masalah praktis, dan meskipun tulisan ini sangat penting untuk memahami ajaran etisnya, hanya kadang-kadang saja menggambarkan pandangan-pandangan filosofis dan religiusnya. Dengan demikian usaha untuk membahas pikiran Baigan secara sistematik sangatlah sulit karena terpaksa didasarkan pada komentar-komentar pendek yang bertebaran di sela percakapan-percakapan konkret, sering kali kontradiktif, dan tidak jarang kabur. Selain itu kesulitan ini juga berasal dari cara pikir Baigan itu sendiri yang cenderung mengarah kepada monisme di mana segala sesuatu—langit, bumi, manusia, pikiran, benda-benda, alam, prinsip—sama. Istilah-istilah yang digunakan campur aduk. Wacananya mengalir dalam kaitan dengan kata-kata, bukan sebagai alur logika. Lebih dari itu, kata-kata bagaimanapun juga, dalam pandangan Baigan, tidak bisa menyampaikan kebenaran. Karena itu nasihatnya untuk mereka yang putus asa adalah diam dan meditasi. Namun demikian kita tetap harus mencoba menguraikan pikirannya seruntut mungkin.
Konsep gakumon akan membantu kita menukik langsung kepada inti sistem Baigan. Secara harfiah kata tersebut berarti belajar atau ilmu pengetahuan, tetapi di sini dia mempunyai arti yang lebih luas. Pengertian yang lebih luas ini sudah terdapat, sebagaimana kita tahu, dalam Mencius, dan jelas bahwa pengaruh terbesar yang masuk dalam pikiran Baigan adalah dari Mencius.
Kita dapat membedakan dua jalur proses yang dicakup oleh istilah gakumon. Pertama adalah yang mengarah kepada pencerahan (kensho), "memahami kodrat" atau "memahami hati". Kedua, praktek susila yang mengikuti pencerahan atau pemahaman tersebut. Dalam hal ini, jalur yang pertama, yang dalam istilah Tillich disebut bersifat "vertikal" adalah penyebab, sedangkan yang kedua yang bersifat "horizontal" adalah akibat. Banyak kutipan yang bisa dijadikan bukti untuk ini. Namun, penafsiran yang berbeda dengan dasar tulisan-tulisannya juga bisa dibuat tentang proses ini. Salah satunya adalah menjadikan pengetahuan dan tindakan sama (bahasa Cina chih dan hsing). Dua proses itu tidak terpisah tetapi satu. Penafsiran lain mengatakan bahwa tingkah laku susila adalah syarat dan bagian dari proses mencapai pencerahan. Walaupun secara logika beragam posisi ini terasa berlawanan, saya rasa tidaklah demikian menurut Baigan atau para pengikutnya. Setiap posisi adalah satu aspek dari kebenaran. Masing-masing posisi benar tetapi yang lain-lainnya juga benar. Terdapat kesan bahwa misinya adalah membawa orang kepada kebahagiaan pencerahan, kemanunggalan dengan langit dan bumi. Terdapat kesan juga bahwa praktek, tindakan susila, mempunyai kedudukan utama.
Sekarang marilah kita pahami gakumon dalam kaitannya dengan proses "vertikal". Baigan mengatakan, "Memahami hati (kokoro, bahasa Cina hsin) adalah awal dari gakumon", dan "Memahami kodrat" (sei, bahasa Cina hsing) adalah inti gakumon",(18) dan "mencapai (uru) hati adalah awal serta akhir dari gakumon".(19) Pandangan ini bisa dianggap didasarkan pada Mencius, yang dikutip oleh Baigan(20), "Jalan gakumon tiada lain kecuali mencari hati yang hilang".(21)
Gakumon, yang sangat erat terkait dengan proses vertikal atau proses mistik-religius, sama erat kaitannya dengan proses horisontal atau proses etis-praktis. "Gakumon para arif adalah memahami bahwa tindakan (okonai) adalah inti dasar (moto) sedangkan pengetahuan (bungaku) adalah pelengkapnya (shiyo)".(22) Untuk uraian yang lebih lengkap tentang tindakan nyata sebagaimana dimaksudkan di atas marilah kita lihat kutipan berikut ini:
Sedangkan untuk jalan gakumon, pertama bersikaplah bijaksana (mi o tsutsushimi), mengabdilah kepada tuanmu dengan lurus dan mengabdilah kepada orang tua dengan cinta, perlakukanlah teman-temanmu dengan kesetiaan, cintailah sesamamu dan kasihilah mereka yang miskin. Walaupun kamu punya kelebihan, janganlah sombong. Pertahankanlah sikap hemat dalam hal-hal seperti pakaian, peralatan meja kursi dan semacamnya, jangan mencari yang mewah. Jangan lalaikan urusan keluarga, sedangkan tentang kekayaan, ketahuilah apa yang masuk dan hitunglah apa yang keluar. Taatilah hukum dan pimpinlah keluargamu. Demikianlah kurang lebih jalan gakumon.(23)
Walaupun Baigan menekankan tindakan spiritual atau etis sebagai pengertian gakumon, dia sama sekali tidak mengabaikan artinya yang lebih sempit yaitu belajar atau pengetahuan. Dia mengumpamakan hati sebagai cermin dan menganggap tulisan sebagai semir yang akan memulas hati. Kendati demikian, jika ditanya apakah gakumon lebih dari sekedar membaca buku, jawabannya adalah
Memang, gakumon adalah membaca buku. Tetapi, jika seseorang membaca tanpa tahu inti buku yang dibacanya, itu bukanlah gakumon. Buku para arif berisi hati mereka sendiri. Memahami hati sendiri adalah gakumon. Namun, orang yang hanya tahu huruf-hurufnya, karena ini keterampilan, dia dinamakan orang yang ahli dalam huruf [bukan orang yang berpengetahuan (gakusha)].(24)
Hati para arif, dengannyalah orang harus menyatu. Pada akhirnya kata-kata mereka hanyalah ampas yang bahkan menghalangi usaha untuk memahami hati. Pemahaman tentang hati bukanlah sesuatu yang bisa ditularkan melalui kata-kata tetapi harus dicari sendiri. Inilah gakumon sejati.
Jika inilah arti gakumon, bahkan orang yang tak bisa baca tulis pun akan dapat mencapainya. Dalam Seikaron memberikan contoh-contoh tentang para petani buta huruf yang dapat melaksanakan tindakan-tindakan kepatuhan kepada orang tua yang heroik.(25) Para pertani yang tidak bisa baca tulis ini lebih cendekiawan sejati (gakusha) dalam pengertian Baigan dibanding para cendekiawan Konfusian yang mengkhususkan diri dalam menguasai pengetahuan tentang abjad tetapi tidak memahami hati.
Kita telah sering kali menggunakan istilah "memahami hati" atau "memahami kodrat", tetapi apa sebenarnya arti istilah-istilah ini menurut pikiran Baigan? Dia berkata, "Tujuan tertinggi dari gakumon adalah mengosongkan hati sendiri untuk memahami hakikat diri. Mengenal hakikat dirinya adalah mengenal langit".(26) Buku ketujuh Mencius mengatakan bahwa "Dia yang telah mengosongkan hatinya, mengenal alam dirinya, mengenal alam diri berarti mengenal langit".(27) Mengenal langit, paling tidak untuk Baigan, berarti bahwa hati seseorang menyatu dengan langit dan bumi. Dia mengatakan bahwa langit dan bumi menciptakan semua hal dan semua hal dalam inti hatinya, menyatu dengan langit dan bumi.
Kendati demikian, jika tertutup oleh nafsu, hati menjadi hilang. Karena itu ketika kita berbicara mengosongkan hati dan kembali kepada inti langit dan bumi, kita menyebutnya mencari hati yang hilang. Jika orang mencari dan menemukannya, dia menjadi hati langit dan bumi. Jika seseorang berkata, "menjadi hati langit dan bumi", orang mengatakannya "tanpa hati (mushin)". Walaupun langit dan bumi tanpa hati, keempat musim terus berlangsung dan semuanya diproduksi. Sang arif mendapatkan hati langit dan bumi dan sepenuhnya tanpa hatinya sendiri. Walaupun seakan tanpa hati, kebajikan, kelurusan, kesusilaan dan kebijakan semua berjalan. Jika seseorang tiba-tiba terasuki, keraguan langsung akan terkikis.(28)
Dari uraian di atas jelaslah bahwa kemanunggalan hati seseorang dengan hati langit dan bumi adalah suatu ungkapan yang menggambarkan semacam pengalaman mistik. Kita telah melihat bahwa Baigan dan banyak muridnya telah melalui pengalaman semacam itu. Sebagaimana pada umumnya dalam mistisisme, apa yang digambarkan adalah pembauran batas antara diri dan non-diri, seseorang menjadi manunggal dengan alam raya. Kemanunggalan ini dibarengi dengan perasaan bahagia dan keheningan tetapi juga perasaan mendapat kekuatan yang besar.
Orang yang baik (jinsha) membuat hatinya menyatu dengan langit dan bumi dan semua hal. Tidak ada satu pun yang bisa dikatakan sebagai bukan dirinya. Jika dia menjadikan langit dan bumi dan semua hal dirinya sendiri, tidak ada satu pun yang tidak akan bisa dicapainya. Jika orang tidak tahu hatinya, maka akan ada pemisahan antara dirinya dan langit serta bumi... Ini seperti orang yang tangan dan kakinya lumpuh. Sang arif menembus langit dan bumi serta semua hal dengan hatinya sendiri.(29)
Pengalaman semacam ini pada dasarnya memang tidak bisa digambarkan dengan kata-kata, karena itu kita terpaksa puas dengan ide samar-samar yang bisa kita tarik dari kutipan di atas. Namun, masih ada yang bisa kita katakan tentang proses yang dijalani orang dalam mendapatkan pengalaman ini. Pada intinya proses ini menyangkut pembuangan apa-apa yang mengaburkan hati yang identik dengan hati langit dan bumi. Apa yang mengaburkan itu adalah apa yang disebut hati manusia atau hati yang mementingkan diri atau hati yang penuh nafsu. Baigan hanya menggunakan satu istilah 'hati' (kokoro, juga berarti "pikiran") dalam banyak kesempatan untuk mengacu kepada apa yang dikaburkan, yang menyebabkan terjadinya kerancuan terminologi. Teshima Toan, muridnya, memecahkan kesulitan ini dengan menggunakan istilah honshin, yang berarti hati suci atau hati murni atau hati sebenarnya sebagai kebalikan dari sikap mementingkan diri atau hati yang penuh nafsu. Dengan demikian dapat kita katakan bahwa yang dimaksud adalah hati suci seseorang yang tertutup oleh nafsu mementingkan diri. Dalam hal ini tujuan utama adalah menghilangkan sifat mementingkan diri. Hati yang mementingkan diri yang dipenuhi nafsu selalu ditumbuhkan oleh hal-hal dari luar. Nafsu ini menyebabkan hati yang suci tertutup dan tidak bisa dipahami sampai penutupnya dihilangkan. Ada beberapa cara untuk menghilangkannya.
Pertama, yang paling normal adalah dengan latihan meditasi. Orang "mengosongkan hati" dan kemudian "memahami hakikat". Pengosongan hati ini bagi kalangan Konfusian Sung telah menjadi teknik dengan tahapan-tahapan pelaksanaan yang jelas. Baigan menamakannya kufu atau seiza. Kufu berarti menghasilkan usaha dan seiza berarti duduk diam. Apa yang dilakukan di sini adalah semacam konsentrasi kemauan. Kata-kata dan hal-hal eksternal sedapat mungkin disingkirkan. Teknik meditasi Baigan pada dasarnya banyak dipengaruhi oleh teknik dari Budhisme Zen.
Cara kedua untuk menghilangkan hati yang mementingkan diri adalah dengan melalui praktek asketisme. Sebagaimana telah dikemukakan, Baigan tidak bersikap ekstrem dalam hal ini. Namun, dia hidup dengan cara yang dapat dikatakan keras. Dia mengatakan bahwa dia jarang makan dan selama bertahun-tahun memasak sendiri makanannya sebagai upaya mendera hatinya dan menghilangkan hati yang bernafsu.(30) Jika latihan meditasi merupakan latihan religius yang terpisah dari kehidupan keseharian, jelaslah bahwa asketisme sebagaimana dianjurkan oleh Baigan dengan mudah dikaitkan dengan dan menguatkan sikap ugahari yang menjadi ciri etika pedagang dan petani.
Terakhir, hati yang mementingkan diri dapat pula dihilangkan dengan cara mengabdikan diri sepenuhnya kepada tugas dan jabatan. Di sini terlihat jelas bahwa dorongan religius untuk menghilangkan hati yang mementingkan diri dan pencapaian hati yang suci berfungsi memperkuat kesetiaan, sikap patuh kepada orang tua dan pencurahan perhatian kepada kerja keras yang merupakan panggilan seseorang. Apa yang ditekankan di sini adalah usaha menghilangkan kepentingan diri dan mendahulukan orang lain daripada diri sendiri.
Di sini kita bertemu dengan suatu "mistisisme duniawi". Walaupun latihan meditasi nampaknya seperti penarikan diri dari dunia, Baigan tidak memaksudkannya demikian. Dia sendiri tetap sibuk dalam kehidupan sehari-harinya dalam masyarakat dan mendorong para muridnya melakukan yang sama. Orang tidak perlu pergi ke hutan untuk melakukan meditasi, tetapi cukup dengan memanfaatkan waktu luangnya dan melakukannya di bagian belakang tokonya. Lebih jauh, sikap hemat dan ugahari dalam keseharian dan pencurahan perhatian kepada kerja keras dan rajin tidaklah terpisah dari kehidupan religius tetapi merupakan cara pembantu untuk mencapai pencerahan. Ciri etis, praktis dan duniawi dari doktrin yang terkesan mistik mengenai "memahami hati" ini menjadi jelas jika kita mempelajari akibat-akibat yang ditimbulkannya.
Kadang-kadang pikiran orang tercerahkan. Dengan cara ini Jalan disampaikan. Hati yang memahami merupakan inti (tai). Hubungan manusia merupakan fungsi (yo). Inti dibentuk dan fungsi berjalan. Fungsi-fungsi ini adalah hubungan antara pangeran dan pengikutnya, ayah dan anak, laki-laki dan istri, saudara tua dan saudara muda, teman dengan teman. Hati yang penuh kebajikan, kelurusan, susila dan kebijakan adalah hati yang melaksanakan kelima hubungan ini.(31)
Di sini kita melihat bahwa hasil dari memahami hati adalah bahwa orang secara intuitif tahu bahwa moralitas yang dianutnya adalah sesuatu yang sepenuhnya alamiah. Ingat perasaan Baigan ketika pertama kali dia mencapai pencerahan: "Hakikat Yao dan Shun hanyalah kepatuhan kepada orang tua dan persaudaraan. Ikan berenang di air dan burung terbang di udara". Pencerahan adalah "memahami kodrat" dan semakin jelaslah kini apa yang dimaksud dengan kodrat itu:
Kita kita berbicara tentang alam (sei, bahasa Cina, hsing) itu berarti prinsip dasar yang ada pada segala makhluk mulai dari manusia sampai burung dan tumbuhan yang diterima dari langit dan yang darinya mereka tumbuh...Dengan memperhatikan perjalanan musim yang lalu kita mengenal musim yang sekarang. Dengan melihat hal-hal kemarin, kita mengenal hari ini. Melihat musim lalu itulah yang dimaksud dengan memahami kodrat dunia. Jika kita memahami kodrat (kita akan melihat bahwa) jalan lima kebajikan dan lima jenis hubungan terkandung di dalalmnya. Chung Yun mengatakan, "Apa yang sudah disabdakan oleh langit itulah kodrat. Mengikuti kodrat disebut jalan".(32) Mengikuti kodrat tanpa mengetahuinya tidak mungkin bisa.(33)
Kodrat adalah apa yang menjadikan segala sesuatu sesuai keharusannya. Adalah kodrat rumput untuk berwarna hijau. Adalah kodrat manusia untuk mempunyai lima jenis hubungan. "Jika orang memahami kodrat, cara bertindak menjadi mudah".(34) Memahami alam bisa dengan cara belajar dari buku atau mempelajari masa lalu. Tetapi sebenarnya bukanlah pengetahuan itu sendiri yang menentukan. Jika orang memahami bukan dari luar tetapi secara intuitif, orang menyatu dengan hati para arif dan dengan hati langit dan bumi. Orang secara intuitif tahu bahwa moralitas yang telah ditetapkan secara inheren memang alamiah, dan orang bisa bertindak sesuai dengannya tanpa sedikit pun mengalami keraguan. Dengan demikian tindakan adalah hasil dari mistisisme Baigan. Hasil dari pencerahan bukanlah nirwana atau penarikan diri dari dunia tetapi tindakan yang mantap dan tak tergoyahkan yang sesuai dengan moralitas. Pada bagian selanjutnya akan dijelaskan apa yang dimaksud Baigan dengan moralitas, karena hanya jika kita punya gambaran yang jelas betul tentangnya seluruh implikasi ajaran agama ini akan menjadi jelas pula. Tetapi sebelum melanjutkan pembahasan tentang hal ini saya ingin sekali lagi menegaskan dengan cara mengemukakan beberapa kutipan betapa sangat jelas Baigan melihat hubungan antara ajaran mistiknya dengan ajaran etisnya.
Tuan Yukifuji bertanya, "Dalam mengajar murid-murid, apakah tuan mengajar mereka membulatkan pikiran (kokoro)?"
Guru kami menjawab dengan mengatakan, "Tidak demikian halnya. Saya mengajar dengan cara tindakan".
Tuan Yukifuji bertanya lebih lanjut, "Jika demikian, apakah tuan mengajarkan mereka keseluruhan lima hubungan?"
Guru kami menjawab, "Demikianlah".(35)
Di sini kita melihat betapa masalah etika menjadi perhatian utama. Kutipan berikut ini menunjukkan bahwa Baigan menyadari aspek mistik dalam ajarannya bisa menjadi tujuan sehingga menyimpang dari moralitas:
Guru kami, berbicara kepada seorang murid yang datang kepadanya untuk memahami kodratnya, mengatakan, "Apa yang dihasilkan oleh belajar (gaku) adalah bahwa orang bisa merefleksikan apa yang benar dan tidak benar sehingga akhirnya dia akan mengikuti yang benar saja. Memelihara kodrat diri tanpa menghimpun kebajikan bukanlah Jalan para arif". Dia sering kali menekankan hal ini.(36)
Sampai sejauh ini saya rasa pembahasan telah menunjukkan cukup bukti bahwa Shingaku sebagaimana diajarkan oleh Ishida Baigan adalah contoh yang sempurna dari kegiatan religius tipe kedua sebagaimana dibahas dalam Bab III. Berbeda dari Bushido, Shinshu, dan Hotoku(37), yang semuanya menekankan on yang dalam hal ini merupakan contoh dari kegiatan religius tipe pertama, Shingaku lebih menekankan kemanunggalan dengan Tuhan, atau dengan "dasar dari segala yang ada". Dalam Bab III dikemukakan bahwa Mencius adalah sumber dari tradisi panjang "mistisisme etis" di Timur Jauh dan jelas bahwa Shingaku sepenuhnya merupakan bagian dari tradisi ini. Jika demikian halnya dan kasus ini diambil untuk menunjukkan bahwa motivasi yang berasal dari kegiatan religius tipe ini mempunyai akibat positif terhadap rasionalisasi ekonomi sebagaimana telah dipaparkan sejauh ini, pembaca mungkin bertanya, "Mengapa hal itu tidak terjadi di Cina?" Walaupun di sini bukan tempatnya untuk membahas hal ini secara mendalam, paling tidak ada dua hal yang bisa dikemukakan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Pertama, tradisi religius ini di Cina hampir selalu secara eksklusif merupakan milik para cendekia, para bangsawan pejabat pemerintah. Bahkan di kalangan kelas itu pun hal ini tidak sepenuhnya dikembangkan kecuali oleh sekelompok kecil intelektual. Sedangkan Shingaku di Jepang mengadaptasikan tradisi religius ini sesuai kebutuhan kelas pedagang dan mendapatkan sambutan yang luas di sana. Sepengetahuan saya, perkembangan semacam ini sama sekali tidak terjadi di Cina. Jelas bahwa kemungkinan-kemungkinan dampak dari etika religius sangat berbeda jika itu dianut oleh hanya segolongan kecil intelektual. Kedua, dan saya rasa ini lebih mendasar, kandungan nyata dari etika yang dianut seseorang yang didasarkan pada kegiatan religius dari tradisi Mencius dianggap sebagai seharusnya demikian; karena itu sampai tingkat tertentu tidak ditentukan oleh kerangka religius tertentu. Tetapi ternyata apa yang dianggap wajar dan seharusnya di Cina belum tentu sama dengan apa yang dianggap demikian di Jepang. Memang mungkin ada kesamaan istilah dan konsep, tetapi terdapat juga perbedaan titik berat dan bahkan nilai-nilai dasar. Pendek kata, nilai-nilai etika Jepang, ketika mendapatkan penguatan motivasi religius, mungkin akan mempunyai implikasi yang berbeda dari nilai etika Cina ketika menerima penguatan religius yang sama.
Walaupun Shingaku bisa dipastikan masuk ke dalam kategori kegiatan religius tipe kedua, bukanlah berarti kita mengatakan bahwa konsep on tidak ada di dalamnya. Dalam uraian-uraian yang sepenuhnya menyangkut etika konsep itu sering kali muncul. Namun, dia tidak terlalu sering dapat dijumpai dalam konteks religius secara khusus. Artinya, kegiatan religius tidaklah dipandang sebagai balasan atas on yang diterima dari langit dan bumi, seperti misalnya, kecenderungan pandangan yang dianut Hotoku. Kegiatan religius lebih dianggap sebagai usaha untuk menghancurkan hati yang mementingkan diri dan menyatukannya dengan hati langit dan bumi.
Kadang kala Baigan tidak menggunakan terminologi Konfusian seperti "langit dan bumi", "kodrat", dan sebagainya, dan berbicara langsung tentang pemujaan Amaterasu. Dia berkata bahwa Amaterasu harus dimuliakan sebagai nenek moyang Jepang dan bahwa sabdanya harus ditaati.(38) Kendati demikian, aspek Shinto ini dalam ajarannya terintegrasi dalam pikiran religiusnya pada tingkat filosofis. Dia memandang orang yang baik sebagai menyatu dengan hati Amaterasu, yang saya yakin baginya tidak berbeda dengan hati langit dan bumi. Baigan cenderung menempatkan pemujaan kepada Amaterasu sebagai yang utama sedangkan Budhisme dan Konfusianisme sebagai pelengkap. Dari sudut ideologi hal ini menarik, tetapi secara filosofis hal ini tidak berarti banyak. Pada dasarnya pikirannya sepenuhnya Konfusian dan ketika dia membandingkan tradisi-tradisi religius yang berbeda sebenarnya lebih untuk menyatukan semuanya dalam landasan-landasan filosofis. Jelas Shinto bukanlah sumber dari landasan-landasan tersebut walaupun banyak darinya yang diserap oleh lingkungan Baigan pada waktu itu.
Dengan berpangkal pada pembahasan tentang posisi religius Baigan di atas, marilah sekarang kita meneruskan pembahasan tentang faham etis Baigan. Sebagai dasar pijak untuk ini kita harus melihat pandangan-pandangannya tentang sifat dasar masyarakat, terutama masyarakat Jepang.
Para dewa tanah kita telah menerimanya dari Isanagi no Mikoto dan Izanami no Mikoto. Dari mulai matahari, bulan, dan bintang-bintang sampai ribuan benda-benda lain, semua berada di bawah kekuasaannya. Karena tidak satu pun yang terlewatkan, dia merupakan kesatuan dan kita menyebutnya tanah para dewa. Hal ini perlu direnungkan. Di Cina hal ini jelas berbeda. Di negara kita garis keturunan Dewi Matahari terjaga terus kelanjutannya, dan terus menduduki singgasana. Akibatnya orang memuja Kuil Dewi Matahari sebagai nenek moyang. Karena dia adalah nenek moyang penguasa kita yang keturunan langit, bahkan rakyat awam pun melakukan ziarah kepadanya, dan menamainya "sangu". Di Cina tidak demikian halnya. (39)
Inilah, dalam bentuknya yang agak jelas, inti dari ide kokutai, dari struktur politiko-religius di Jepang yang membedakannya dari Cina dan negara-negara lain. Di bagian lain dia membandingkan kokuon (berkah dari bangsa) dengan langit dan bumi dan mengatakan bahwa bahkan kuas yang ada tidak memadai untuk menggambarkannya.(40) Dia berpikir tentang mempertahankan kelas sosial asal, menghormati atasan, mengepalai keluarga, bersikap hemat dan menghindari kemewahan, menjalankan pekerjaan keluarga sebagai cara-cara untuk dapat membalas on. Pandangan-pandangan tentang kokutai dan kokuon ini merupakan struktur dasar yang mengkerangkai cara pandang Baigan tentang masyarakat.
Sebelum lebih jauh membicarakan secara lebih khusus pandangan-pandangan etis Baigan, menarik kiranya untuk dikemukakan lebih dahulu ringkasan dialognya dengan seorang pendeta Budhisme Zen tentang masalah membunuh makhluk hidup, karena dari pembicaraan itu dapat dilihat acuan-acuan umum yang dianutnya.(41) Pendeta tersebut mendukung larangan membunuh makhluk hidup tetapi Baigan mengatakan kepadanya bahwa itu adalah aturan dalam Hinayana yang tidak ada dalam aturan Mahayana dan bahwa banyak pendeta, terutama para pendeta Zen melakukan pembunuhan terhadap makhluk hidup. Pendeta itu bersikeras bahwa aturan itu adalah aturan Budha dan juga ajaran Konfusius, yaitu prinsip kebajikan Konfusius (jin, bahasa Cina jen). Baigan menjawab dengan mendefinisikan kebajikan sebagai sifat mencintai (jiai) dan tidak mempunyai hati yang mementingkan diri. Menghilangkan keakuan adalah salah satu ajaran utama Budhisme. Telah merupakan hukum dunia bahwa beberapa hal harus dipotong supaya yang lainnya bisa tumbuh. Yang kuat memberi makan yang lemah. Baigan menegaskan bahwa bahkan rahib pun makan nasi, yang berasal dari benda hidup, dan hama harus dibunuh supaya padi bisa tumbuh. Jika para pendeta betul-betul konsisten dengan aturan itu, mereka akan kelaparan. Singkatan dari apa yang dikatakannya adalah sebagai berikut: "Jalan langit (tendo) menghasilkan segala hal, dan memberi makan makhluk hidupnya dengan makhluk hidup pula".(42) "Merupakan jalan langit bahwa yang mulia memakan yang hina".(43) "Kamu harus tahu memanfaatkan yang hina untuk kepentingan yang mulia. Sebagai misal, pangeran adalah yang mulia dan pelayan adalah yang hina. Si pelayan hina memberikan dirinya untuk kepentingan sang pangeran mulia bahkan merelakan nyawanya".(44)
Di sini kita lihat inti metafisik pengabdian tanpa pamrih dalam pengertiannya yang paling luas. Hukum alam dan doktrin penghancuran hati yang mementingkan diri keduanya dikerahkan untuk menguatkannya. Gambaran yang lebih rinci tentang peran "pelayan" diberikan dalam bagian tentang Jalan Para Prajurit (bushi no michi) dalam Toimondo:
Pertama-tama, seseorang yang mengabdi kepada seorang pangeran disebut "pelayan". "Pelayan" diterangkan sebagai "tertarik". Hatinya selalu tertarik ke arah pangeran".(45)
Nasi dan sup si pelayan adalah upah yang dikaruniakan sang pangeran. Tanpa itu bagaimana dia akan bisa bertahan hidup? Karena itu dia memberikan tubuhnya sebagai pengganti tubuh pangerannya dan memandang kediriannya tidak lebih dari sekedar embun atau debu. Inilah Jalan pelayan.(46)
Gambaran tentang "pelayan" ini menjadi penting dalam memahami ide Baigan yang terkenal bahwa bukan hanya samurai saja yang "pelayan". Petani adalah juga "pelayan" daerah pedesaan dan pedagang serta pengrajin adalah "pelayan" jalan-jalan daerah perkotaan. Semuanya harus melayani dengan rasa pengabdian yang sama. Masing-masing memenuhi tugas yang diberikan kepadanya untuk tujuan bersama. Inilah pandangan organik tentang masyarakat yang akan mengawali pembahasan bab selanjutnya, tetapi jika yang dianggap paling penting adalah pemeliharaan sistem, jelas ini bukan pandangan organik, melainkan pandangan tentang masyarakat yang khas Jepang di mana nilai-nilai pencapaian tujuan merupakan hal yang dominan.
Peran samurai adalah membantu penguasa dalam memerintah dan berfungsi sebagai purwarupa pelayan, sebagaimana dikemukakan dalam kutipan di atas. Sedangkan para petani,
... dia pergi ke sawah sebelum fajar menyingsing dan kembali ke rumah ketika bintang-bintang sudah mulai berkelip ... Pada musim semi dia membajak, pada musim panas dia menyiangi dan pada musim gugur dia panen, tanpa pernah lupa untuk menghasilkan sebanyak mungkin dari sawahnya, walaupun yang berasal dari sebutir padi.(47)
Para pengrajin memproduksi hasil kerajinannya dan pedagang menjalankan perdagangan. Masing-masing bekerja keras demi semua. Dalam hal ini semua kelas sama.
Walaupun samurai, petani, pengrajin dan pedagang berbeda dalam pekerjaan masing-masing, karena semua menganut satu prinsip yang sama (ichiri), jika kita bicara tentang Jalan samurai (samurai no michi), hal itu berlaku pula bagi petani, pengrajin dan pedagang, dan jika kita bicara tentang Jalan petani, pengrajin dan pedagang, semua itu berlaku pula untuk samurai.(48)
Dengan mendasarkan dirinya pada konsep masyarakat ini Baigan membuat pembelaan yang berapi-api tentang kelas pedagang yang menjadi sangat terkenal dan sangat penting sehingga perlu kiranya untuk dikutip penuh:
Jika tidak ada perdagangan, pembeli tidak mempunyai sesuatu untuk dibeli dan penjual tidak bisa menjual. Jika demikian, pedagang tidak akan punya pekerjaan dan dia akan menjadi petani dan pengrajin. Jika semua pedagang menjadi petani dan pengrajin, tidak akan ada orang yang memutarkan kekayaan dan seluruh rakyat akan menderita. Samurai, petani, pengrajin dan pedagang merupakan pembantu dalam pemerintahan kekaisaran. Jika empat kelas itu tidak ada, tidak akan ada bantuan. Memerintah keempat kelas tersebut adalah peran penguasa. Membantu penguasa merupakan peran keempat kelas. Samurai adalah pelayan (shin) yang mendapatkan kedudukannya berdasar keturunan. Petani adalah nelayan dari daerah pedesaan. Pedagang dan pengrajin adalah dari kota. Perniagaan yang dilakukan pedagang membantu kekaisaran. Pembayaran harga adalah upah (roku) para pengrajin. Panen bagi petani adalah seperti upah untuk samurai. Tanpa hasil kerja yang dikeluarkan oleh empat kelas bagaimana kekaisaran akan bisa tegak berdiri? Laba yang didapat pedagang adalah juga upah yang diperbolehkan oleh kekaisaran. Menganggap semua ini, yang hanyalah laba dari perniagaanmu sendiri, serakah dan tidak bermoral sama dengan membenci pedagang dan mengharapkan kehancuran mereka. Kenapa membenci dan memandang rendah hanya pedagang saja? Jika kamu mengatakan, jangan mengambil laba, jika orang membayar, dan jika kamu mengambil laba darinya itu akan merusak hukum kekaisaran. Karena perdagangan diperintahkan dari atas, maka laba diperbolehkan. Laba yang didapat pedagang adalah seperti upah. ... Sebagaimana juga Jalan samurai, jika dia tidak menerima upah, itu karena dia tidak layak untuk mengabdi. Jika orang mengatakan menerima upah dari pangeran sebagai "keserakahan" dan "tidak bermoral", berarti mulai dari Mencius sampai orang masa sekarang ini tidak ada satu pun yang bermoral (mengetahui Jalan). Jadi apa maksudnya, tanpa menyertakan juga samurai, petani, dan pengrajin, mengatakan pedagang yang mengambil laba "serakah" dan tidak tahu jalan?(49)
Dalam pernyataannya ini Baigan jelas menyamakan pedagang dengan model samurai. Dia menegaskan bahwa fungsi keduanya adalah membantu kekaisaran dan bahwa laba yang mereka terima tiada lain kecuali ganjaran bagi bantuan yang mereka berikan, serupa dengan upah yang diterima oleh samurai. Pernyataan ini dan beberapa lainnya yang senada sering kali dikutip oleh beberapa penulis yang menganggapnya mempunyai kecenderungan anti feodal. Padahal, jelas terlihat bahwa pernyataannya ini tidak dapat diartikan bahwa dia menolak kelas samurai atau etika samurai tetapi merupakan penegasan bahwa kelas pedagang mengambil etika itu sebagai model. Terlihat bahwa Baigan menuntut kedudukan yang terhormat bagi kelas pedagang yang tidak dipandang demikian oleh banyak sesamanya pada waktu itu, dan dia melakukannya dengan keterlibatan emosional yang intens. Tetapi dia menuntut itu berdasarkan kenyataan bahwa pedagang juga menganut etika yang serupa dengan etika samurai, Jalan para nelayan. Baigan adalah seorang pembela kelas pedagang yang gigih, tetapi dia lakukan itu sesuai nilai-nilai dominan yang hidup dalam masyarakatnya, bukan atas dasar penolakan ataupun kritik atas nilai-nilai tersebut.
Saya sama sekali tidak bermaksud mengabaikan pembelaan Baigan atas kelas pedagang. Penegasan bahwa kelas pedagang mempunyai tempat yang sah dalam kokutai, bahwa kelas pedagang menganut juga nilai-nilai dasar kesetiaan, pengabdian tanpa pamrih, dan sebagainya, sangatlah penting dalam membantu menghapuskan cap jelek yang melekat pada kegiatan ekonomi. Walaupun baru pada masa Meiji cap ini bisa sepenuhnya terhapus, argumentasi yang dikemukakan adalah sepenuhnya kepunyaan Baigan: berusaha di bidang perdagangan dan industri adalah suatu bentuk kesetiaan kepada kerajaan; karena itu terhormat untuk dilakukan oleh samurai atau oleh siapa pun lainnya.
Baik kiranya jika kita melihat apa yang ada dalam pikiran Baigan ketika dia menyitir beberapa penulis Tokugawa tentang kelas pedagang. Yamagata Hanto (1746-1821) menulis:
Hendaknya menjadi perhatian utama pemerintahan untuk memperlakukan orang-orang kota dengan jelek dan memperlakukan para petani secara istimewa ... Pemerintah yang baik adalah yang menunjang pertanian dan tidak menggalakkan perdagangan dan industri, dengan tujuan memundurkan distrik-distrik perkotaan. Jika kota-kota makmur, pedesaan akan mundur dan demikian pula sebaliknya. Ini memang pengaturan alamiah yang ada.(50)
Hayashi Shihei berkata, "Para chonin itu tidak ada gunanya; mereka hanya menelan upah samurai saja. Mereka benar-benar kelompok sialan".(51) Takano Shoseki mengatakan ini: "Pedagang pantas untuk disebut pemalas. Mereka hidup dari bahan makanan yang diproduksi orang lain dan memakai pakaian yang dibuat orang lain. Mereka seperti parasit".(52)
Penulis lain tidak seekstrem itu dalam mencela pedagang, tetapi tetap saja menganggap pedagang sebagai kelompok yang bermoral rendah. Yamaga Soko, misalnya, merasa bahwa pedagang memang tidak bisa dihapuskan begitu saja tetapi mereka tidak layak untuk dihargai karena, "Mereka hanya kenal laba dan tidak kenal kebajikan. Satu-satunya yang mereka pedulikan hanya bagaimana menguntungkan diri sendiri".(53)
Walaupun penulis-penulis sebagaimana dikutip di atas mewakili kecenderungan penting dalam pemikiran Tokugawa yang secara keras ditentang oleh Baigan—penolakan yang berakibat menguntungkan perkembangan ekonomi—bukan berarti itu hanya satu-satunya pandangan tentang masalah ini. Banyak penulis lain, yang sebagian adalah penganut faham Konfusian dari kelas samurai, yang pandangannya lebih dekat dengan pandangan Baigan daripada dengan para pengutuk kaum pedagang.
Sebagai misal, Miura Baien (1723-1789) menulis:
Petani menghasilkan gandum, padi, murbei dan rami untuk memberi makan dan pakaian orang-orang lain di samping juga diri mereka sendiri. Pengrajin membuat barang-barang yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari, karena itu meringankan beban hidup. Pedagang membagikan beras, gandum, kain, dan sebagainya yang dihasilkan petani dan alat-alat serta barang-barang yang dihasilkan pengrajin sehingga semua orang terpenuhi kebutuhannya.(54)
Motoori Norinaga, yang berasal dari latar belakang pedagang, menulis,"Pedagang sangat dibutuhkan dalam perniagaan. Semakin banyak pedagang, semakin baik bagi negara dan masyarakat pada umumnya".(55) Dan akhirnya perlu kita kutip Kaiho Seiryo (1755-1817) yang bahkan lebih tajam dari Baigan:
Penjual beras tidak kurang tidak lebih dari suatu transaksi komersial. Karena itu dapatlah dikatakan bahwa semua orang, dari mulai adipati feodal terus sampai ke bawah, dalam beberapa hal terlibat dalam perdagangan... Perdagangan jelas sama sekali tidak bisa ditiadakan dalam kehidupan sehari-hari, karena itu salahlah kita jika memandang rendah uang atau mencela perdagangan.
Tidak ada yang memalukan kalau orang menjual sesuatu. Yang memalukan adalah jika orang tidak bisa mengembalikan hutang yang dipinjamnya dari pedagang.(56)
Baigan, sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, mengambil etika samurai sebagai model bagi etika chonin. Dia sangat eksplisit dalam hal ini: "Yang harus menjadi model setiap orang di dunia adalah samurai".(57) "Sebagai model yang tinggi, samurai haruslah dijadikan hukum".(58) Dari cara pandang ini keluarlah prinsip yang sangat penting seperti yang terlihat dalam kutipan berikut ini:
Jika orang menyebut "jalan pedagang" bagaimana itu bisa dibedakan dari jalan samurai, petani atau pengrajin? Mencius mengatakan hanya ada satu jalan. Samurai, petani, pengrajin dan pedagang masing-masing adalah makhluk langit. Adakah dua jalan di langit?(59)
Dalam pernyataan ini kita melihat adanya elemen universalisme yang kuat. Tentu saja Baigan akan mengatakan bahwa secara prinsip (ri, Cina li) semuanya sama tetapi dalam bentuknya (kei, Cina hsing) mereka berbeda. Bentuk secara konkret berarti pekerjaan dan Baigan tidak mempertanyakan prinsip keturunan dalam kedudukan kelas (walaupun dia sendiri berpindah dari satu ke lainnya). Walaupun dengan keterbatasan ini, sifat universalismenya tetap kuat. Sifat ini merupakan aspek penting dalam ajarannya tentang keuntungan (laba), kejujuran dan keugaharian.
Sebagaimana telah kita singgung sebelumnya, Baigan tidak membiarkan adanya cap jelek sedikit pun dalam laba yang diambil pedagang. Sebagai misal, dia berkata,
Mendapatkan laba dari penjualan adalah Jalan pedagang. Saya tidak pernah mendengar menjual dengan merugi bisa disebut Jalan... Laba pedagang yang didapat dari perdagangan sama seperti gaji yang diterima samurai. Berdagang tanpa laba sama dengan samurai tanpa gaji.(60)
Tidak mengambil laba bukanlah Jalan pedagang.(61) Fungsi pedagang dari sejak jaman kuno adalah "mengambil apa yang berlebih dan menukarnya untuk yang kurang".(62), dan itulah pengabdian kepada kaisar. "Penguasa kekayaan adalah rakyat kaisar".(63) Pedagang hanyalah sekedar pegawai rendahan kaisar. Kekayaan yang ada bukanlah kepunyaan mereka karena mereka hanya sekedar pelayan. Namun, imbalan yang adil bagi pengabdian mereka jelas sepenuhnya sah. Dengan menggabungkan pedagang ke dalam peran pelayan dan menyamakan laba dengan upah yang diterima samurai Baigan memberikan landasan moral bagi pekerjaan pedagang dan bagi laba yang dihasilkan darinya. Teorinya berfungsi mengaitkan ekonomi ke dalam nilai-nilai politik utama secara kuat. Implikasi dari langkah ini bagi rasionalisasi ekonomi luar biasa besar, walaupun dampaknya yang penuh baru terasakan setelah Meiji. Dalam hal pengembangan posisi ideologi ini Baigan harus dipandang sebagai satu di antara penyumbang, walaupun telah memberikan sumbangan yang penting dan simptomatik.
Walaupun Baigan menyatakan pendapat yang sangat mendukung ide pengambilan laba, dia juga sangat tegas tentang apa yang dianggap laba yang adil dan tentang kejahatan laba yang tidak adil. Dalam kaitannya dengan masalah inilah terutama dia berbicara tentang arti penting kejujuran (shojiki), walaupun nilai yang universal ini mewarnai hampir semua pikiran-pikirannya yang lain. Mengambil laba secara jujur akan membawa orang pada kekayaan, mengambil laba dengan cara tidak adil akan membawa orang kepada kehancuran:
Pedagang, jika mereka mengabaikan Jalan para arif dalam mencari uang, akan melakukannya secara tidak benar, dan akan menyebabkan keturunannya terpotong. Jika mereka betul-betul mencintai keturunannya mereka akan mempelajari Jalan, dan menjadikan mereka makmur.(64)
Nampak di sini bahwa Baigan bukan tidak mengenal ide yang menyatakan bahwa kejujuran adalah kebijakan yang terbaik. Dalam kutipan berikut hal ini terlihat jelas:
Penipuan, walaupun mungkin menghasilkan keuntungan cepat, pada akhirnya akan menyebabkan datangnya hukuman dari para dewa. Sedangkan untuk kejujuran, walaupun mungkin tidak langsung mendatangkan keuntungan, pada akhirnya Amaterasu akan memberikan karunianya dari langit. Jika kamu menjadi penjahat di mata para dewa, tidak akan ada tempat untuk hidup bagimu. Kamu tidak akan bisa hidup di dunia luas ini, dan hidup dalam kurungan sangatlah menyedihkan... Tetapi jika orang berlaku jujur dan hatinya lurus, orang bisa tinggal di atas dunia yang terbentang luas tanpa batas, dan mengalami kebahagiaan yang besar. Ajaran saya akan menjadikan kamu menghindari kesulitan-kesulitan untuk tidak menipu dan mencuri, menjadikan kamu disebut orang yang jujur. Jika kamu tanggap kepada pikiran para dewa yang jernih bukankah itu yang disebut kebahagiaan?(65)
Jika sepotong sutra atau secarik obi terlalu pendek satu atau dua inci penenunnya akan memberitahukan itu dan menurunkan harganya. Namun, pedagang menjualnya dengan harga normal tanpa peduli kekurangan satu atau dua inci tersebut dan mengantongi labanya. Mengambil laba dari barang tersebut seakan ukurannya tidak kurang berarti mengambil laba ganda ... Selanjutnya, jika satu bahan salah celup dan pedagang membayar dengan harga yang lebih rendah kepada si tukang celup, tetapi ketika menjualnya dia menentukan harga yang normal tanpa memberitahu atau membagi labanya dengan si tukang celup maka perilaku semacam ini lebih buruk dari mengambil laba ganda.(66)
Kejujuran untuk Baigan bukan hanya berarti mengambil laba secara adil, tetapi juga membayar hutang dan menghargai harta milik. Dalam Seikaron dia menceritakan nasehat yang diberikannya kepada seorang pedagang Kanto yang nyaris tersapu habis dalam satu banjir besar.(69) Pedagang itu meminta nasihat kepada Baigan. Catatannya hilang sehingga dia tidak bisa menagih hutang orang-orang kepadanya. Juga, bagaimana dengan hutang-hutang dia sendiri kepada orang lain? Baigan menasehatkan supaya dia menjual seluruh harta miliknya kalau perlu sampai dia telanjang untuk bisa membayar hutangnya. Tindakan yang menunjukkan kejujuran seperti ini akan menjadikan orang-orang yang memberi piutang padanya menghargai dan jatuh kasihan kepadanya, sehingga akan membantu dia memulai kembali usahanya. Dengan reputasi kejujuran seperti itu dia pasti akan bisa maju dan berkembang dalam usahanya.
Dalam ungkapan yang lebih abstrak dan landasan yang sangat universalistik, demikianlah teori Baigan tentang hak milik dan hutang.
Karena semua orang berasal dari langit, mereka semua adalah anak langit. Karenanya satu individu adalah langit dan bumi kecil. Sebagai langit dan bumi kecil dia tidak mempunyai keinginan mementingkan diri. Dengan demikian barang-barang saya adalah barang-barang milik saya. Barang-barang orang lain adalah milik orang lain. Apa yang dipinjamkan diterima, apa yang dipinjam harus dikembalikan. Melakukan segala yang harus dilakukan tanpa mementingkan diri, bahkan sampai sepotong rambut yang terkecilpun, inilah kejujuran. Jika kejujuran ini dipraktekkan, dunia akan menjadi satu kesatuan yang harmonis. Semua yang berada di antara empat laut akan menjadi saudara.(68)
Konsep ekonomi Baigan sangat erat berkaitan dengan dan dalam banyak hal didasarkan pada kejujuran:
Bagaimana orang bisa bicara tentang ekonomi dalam hubungannya dengan empat kelas secara terpisah? Apa yang disebut ekonomi bukanlah suatu hal yang khusus. Ekonomi mengacu kembali kepada kejujuran dalam diri.(69)
Dalam arti luas "kejujuran" (shojiki) bagi Baigan berarti tingkah laku yang benar dan lurus, dan terutama tingkah laku yang sesuai dengan keadaan seseorang. Kemewahan selalu relatif dengan posisi seseorang, tetapi selalu salah jika dipraktekkan oleh penguasa dan pedagang. "Sikap hemat" (kenyaku) selalu sesuai bagi keadaan setiap orang dan ini merupakan perwujudan dari kejujuran. Dia menceritakan bagaimana penguasa terakhir dari dinasti Yin di Cina menghancurkan dirinya sendiri dan kehilangan kerajaannya karena praktek kemewahan dan pemborosan dilakukannya.(70) Menarik pelajaran dari penuturan itu, dia berkata,
Walaupun ada yang tinggi ada yang rendah, prinsip-prinsip yang akan mengangkat keluarga atau menghancurkannya hanyalah satu. Sikap bermewah-mewah sangat mudah muncul bersamaan dengan berjalannya waktu. Orang harus selalu takut dan waspada terhadap kecenderungan itu.(71)
Walaupun sikap hemat merupakan prinsip yang berlaku umum, Baigan secara khusus merasa berkepentingan untuk menerapkannya di kalangan kelas pedagang. Dia berkata,
Walau melihat keadaan dunia pada umumnya, tidak ada yang hancur begitu mudah seperti keluarga chonin. Jika kamu mencari penyebabnya, itu adalah penyakit yang disebut kebodohan. Kebodohan ini dengan cepat menjadi pemborosan. Walaupun kebodohan dan pemborosan adalah dua hal, kita harus melihatnya sebagai dua hal yang sulit dibedakan.(72)
Dia menganjurkan pengawasan yang ketat untuk mengurangi pembelanjaan untuk makanan, pakaian, peralatan meja kursi dan sejenisnya dalam keluarga chonin. Seseorang menuduh dia menyebarkan keresahan di dunia dengan cara membongkar adat kebiasaan orang sehingga menyebabkan percekcokan dan kemarahan dalam keluarga. Terhadap hal ini Baigan menjawab bahwa keresahan kadang-kadang diperlukan dan tidak selamanya jelek. Dia mengambil contoh orang yang memberikan hukuman fisik kepada anak yang nakal, walaupun si anak menjerit dan meronta. Penerapan sikap hemat yang ketat dalam keluarga mungkin akan menimbulkan perbantahan tetapi pada akhirnya akan berakibat baik.(73)
Baigan menempatkan sikap hemat dalam konteks moral yang luas dan menganggapnya sebagai landasan dasar dari kebajikan (jin, Cina jen). Jika seseorang miskin, dia tidak dapat membantu orang lain. Hanya jika orang mempunyai materi yang cukup dia bisa menjadi dermawan.
Salah satu tema yang selalu ditekankan oleh Baigan adalah mengetahui kedudukan diri dan melakukan yang terbaik untuknya. Sebagai misal, dia bilang, "Jika kamu tidak tahu kedudukanmu, kamu lebih rendah dari burung dan binatang buas. Anjing menjaga pintu gerbang dan ayam jago memberitahu kita akan waktu... Jika sebagai pedagang kita tidak tahu kedudukan kita, kita mendekati kehancuran keluarga yang telah dilimpahkan oleh leluhur kepada kita".(74) Sekali lagi dia berkata, "Jika kita mengetahui kebajikan (gi, Cina i) bagaimana mungkin bisa ada keinginan mengabaikan kedudukan kita?"(75) Kedudukan seseorang adalah ketetapan langit. Dia merupakan landasan bagi pengabdian orang kepada bangsa dan pemerintahnya dan dia adalah landasan bagi kelanjutan keluarga. Dalam konteks kedudukan inilah laba yang adil, kejujuran dan sikap hemat mendapatkan artinya.
Jelas bahwa konsep kedudukan (shokubun) sangat erat terkait dengan nilai-nilai dasar kesetiaan dan kepatuhan kepada orang tua. Dalam pandangan etika Baigan hal itu merupakan alat utama untuk menunjukkan kesetiaan dan kepatuhan kepada orang tua. Rasanya kita perlu mengutip ungkapan-ungkapan yang dikemukakan Baigan tentang kesetiaan dan kepatuhan kepada orang tua karena ada perbedaan yang mendasar dengan pandangan umum Tokugawa tentang masalah ini, yang sejauh ini saya harap sudah cukup jelas dipahami pembaca. Kita hanya perlu mengemukakan di sini bahwa Baigan secara eksplisit menyamakan negara dengan keluarga dengan cara-cara sebagaimana telah dibahas oleh buku ini. Sebagai misal, dia membandingkan kepala keluarga orang kebanyakan dengan kepala keluarga samurai, petugas pemerintah yang menguasai negara.(76) Dan dalam Toimondo dia menyatakan berikut ini: "Dari sudut pandang istri dan anak, kepala keluarga itu seperti seorang pangeran. Dengan demikian kamu dan ibumu itu seperti pelayan".(77) Selanjutnya dia mengatakan bahwa sudah seharusnya seorang pelayan bekerja keras dalam mengabdi kepada tuannya.
Sampai di sini telah lengkaplah pembahasan kita tentang ajaran sosial dan etika Baigan. Pembahasan tersebut dimulai dengan pembahasan tentang gambaran mengenai masyarakat yang didasarkan pada hubungan pangeran dan pengikutnya, dan kita akhiri dengan pembahasan tentang hubungan tersebut sebagai cara memenuhi kebajikan moral. Inilah inti dari moralitas yang telah digariskan yang menjadikan orang yang sudah mendapatkan pencerahan dan yang bersih dari keinginan mementingkan diri serta manunggal dengan hati langit dan bumi sangat menerimanya sebagai kewajaran dan akan melaksanakannya tanpa sedikit pun keraguan. Dalam memahami implikasi-implikasi sosial gerakan Shingaku kita harus memperhatikan baik aspek religius maupun aspek etisnya. Masing-masing penting untuk memahami arti yang lainnya. Jika kita melihat hanya mistisisme Baigan saja kita tidak akan bisa melihat implikasi-implikasi hebat yang ditimbulkannya pada kegiatan-kegiatan sosial yang terlihat jelas ketika kita memperhatikan tuntutan-tuntutan etis yang ditimbulkan oleh mistisisme itu. Kalau kita melihat hanya kepada ajaran etikanya saja, kita hanya akan menjumpai sejumlah tuntunan yang menarik tetapi kita akan kurang bisa menangkap motivasi yang tinggi untuk menjalankan tuntunan tersebut yang ditimbulkan oleh ajaran religiusnya. Aspek religiusnyalah yang menyerukan kepada semua orang tentang kebutuhan batin yang terdalam dari orang-orang yang mengalami kesusahan untuk diselamatkan dari kesengsaraan mereka. Seruan religius ini menyentuh inti terdalam dari motivasi manusia. Pengaitan antara motivasi semacam ini—kebutuhan dari mereka yang letih akan pertolongan, kebutuhan mereka yang kesulitan akan istirahat, kebutuhan mereka yang berdosa akan ampunan—dengan pelaksanaan kewajiban-kewajiban etis dan praktis di dunia yang memberikan pada etika tersebut dinamisme yang tidak akan pernah dipunyainya kalau dia hanya merupakan sekumpulan tuntunan dan nasehat saja.
Walaupun pengetahuan saya tentang gerakan Shingaku dalam perkembangannya selanjutnya hanya sepotong-sepotong dan saya tidak bisa berbicara seyakin perasaan saya terhadap Baigan, saya mendapat kesan yang kuat bahwa gerakan yang berkembang kemudian setelah itu tetap tidak jauh berbeda dengan ajaran yang telah kita bahas dalam bab ini. Ada beberapa orang yang beranggapan bahwa Baigan lebih menekankan masalah pencerahan dan ideologi sedangkan para guru yang muncul kemudian lebih memberikan perhatian pada masalah indoktrinasi dan religi. Sebagaimana telah saya coba jelaskan di atas, motivasi utama Baigan adalah religi, dan bukan ideologi; karena itu pembedaan oleh beberapa orang tersebut tidak berarti bagi saya. Apa yang dimaksud dengan pencerahan sebagai kebalikan dari indoktrinasi nampaknya adalah bahwa para penulis yang datang belakangan tidak terlalu jelas pembelaan mereka terhadap kelas pedagang dan laba yang diambilnya, tetapi berbicara dalam istilah-istilah religius dan etika umum. Hal ini merupakan perbedaan yang penting walaupun tidak mendasar sebagaimana akan saya coba tunjukkan di bawah.
Baca: Buku Religi Tokugawa, Akar-akar Budaya Jepang
-------------------------------------------
(18) Toimondo, SGSS, vol. 3, hlm. 91. Analisis tentang pemikiran Baigan dan terutama tentang Toimondo yang banyak membantu terdapat dalam tulisan Kachibe, "Sekimon Shingaku Shiron".
(19) Ibid., hlm. 176
(20) Ibid., hlm. 90
(21) Legge, op. cit., vol. II, hlm. 414. Saya sedikit mengubah terjemahan Legge.
(22) Toimondo, SGSS, vol. 3. hlm. 92
(23) Ibid., hlm. 111
(24) Ibid., hlm. 192
(25) SGSS, vol. 1, hlm. 137
(26) Toimondo, SGSS, vol. 3. hlm. 138
(27) Legge, op. cit., vol. II, hlm. 448. Saya sedikit mengubah terjemahan Legge.
(28) Toimondo, SGSS, vol. 3, hlm. 189-190
(29) Ibid., hlm. 114
(30) Jiseki, SGSS, vol. 6, hlm. 305
(31) Toimondo, SGSS, vol. 3, hlm. 162
(32) Legge, op. cit., vol. I hlm. 383. Saya sedikit mengubah terjemahan Legge.
(33) Toimondo, SGSS, vol. 3, hlm. 90-91
(34) Ibid., hlm. 97
(35) Jiseki, SGSS, vol. 6, hlm. 313
(36) Ibid., hlm. 307
(37) Hotoku, walaupun sangat menekankan on, sebenarnya mengandung ajaran yang sangat serupa dengan ajaran Shingaku. Sebagai misal, Sontoku mengatakan, "Dari jiwa seseorang yang merupakan pemberian dewa muncullah hati yang tulus, yaitu hati nurani kita, pikiran manusia. Rumput jelek yang tumbuh di padang harus dicabut sampai akarnya, kalau tidak akan merusak tanaman yang baik. Pikiran yang mementingkan diri sendiri (secara harfiah "pikiran manusia") akan melukai pikiran yang tulus; karena itu kita harus menghapus sama sekali rasa mementingkan diri, dan menumbuhkan belas kasih, kebajikan, ketulusan dan kebijakan" (Amstrong, Just Before the Dawn, hlm. 230). Di sini lagi pengaruh Mencius terlihat jelas.
(38) Toimondo, SGSS, vol. 3, hlm. 188
(39) Ibid., hlm. 121-122
(40) Seikaron, SGSS, vol. 1, hlm. 154
(41) Toimondo, SGSS, vol. 3, hlm. 123-127
(42) Ibid., hlm. 125
(43) Ibid.
(44) Ibid.
(45) Ibid., hlm. 106
(46) Ibid., hlm. 107
(47) Ibid., hlm. 96
(48) Seikaron, SGSS, vol. 1, hlm. 158
(49) Toimondo, SGSS, vol. 3, hlm. 149-150
(50) Honjo, "Economic Thought in the Latter Part of the Tokugawa Era", hlm. 12
(51) Ibid.
(52) Ibid.
(53) Watsuji, op. cit., hlm. 326-329
(54) Honjo, op. cit., hlm. 11
(55) Ibid.
(56) Ibid., hlm. 15
(57) Toimondo, SGSS, vol. 3, hlm. 158
(58) Ibid., hlm. 157
(59) Ibid., hlm. 158
(60) Ibid., hlm. 145
(61) Ibid., hlm. 148
(62) Ibid., hlm. 109
(63) Ibid.
(64) Ibid., hlm. 109-110
(65) Seikaron, SGSS, vol. 1, hlm. 162. Simbolisme dalam bagian ini nampaknya diambil dari analogi mengenai sangsi dalam sistem sosial, terutama penghapusan hak waris. Ancamannya adalah penghapusan hak waris kosmis.
(66) Toimondo, SGSS, vol. 3, hlm. 152
(67) Seikaron, SGSS, vol. 1, hlm. 159-162
(68) Ibid., hlm. 158-159
(69) Ibid., hlm. 158
(70) Ibid., hlm. 138-139
(71) Ibid., hlm. 139
(72) Ibid., hlm. 143
(73) Ibid., hlm. 142
(74) Toimondo, SGSS, vol. 3, hlm. 131
(75) Ibid., hlm. 113
(76) Seikaron, SGSS, vol. 1, hlm 159
(77) Toimondo, SGSS, vol. 3. hlm. 133
Comments
Post a Comment