Jenis Fonem Jenis fonem yang dibicarakan di atas (vokal dan konsonan) dapat dibayangkan sebagai atau dikaitkan dengan segmen-segmen yang membentuk arus ujaran. Kata bintang , misalnya, dilihat sebagai sesuatu yang dibentuk oleh enam segmen — /b/, /i/, /n/, /t/, /a/, /Å‹/. Satuan bunyi fungsional tidak hanya berupa fonem-fonem segmental. Jika dalam fonetik telah diperkenalkan adanya unsur-unsur suprasegmental, dalam fonologi juga dikenal adanya jenis fonem suprasegmental. Dalam bahasa Batak Toba kata /itÉ™m/ berarti '(pewarna) hitam', sedangkan /itÉ”m/ (dengan tekanan pada suku kedua) berarti 'saudaramu'. Terlihat bahasa yang membedakan kedua kata itu adalah letak tekanannya, sehingga dapat dikatakan bahwa tekanan bersifat fungsional. Lain lagi yang diperlihatkan dalam contoh bahasa Inggris berikut. Di sini perubahan letak tekanan tidak mengubah makna leksikal kata, tetapi mengubah jenis katanya. Kata benda Kata kerja ‘import ‘impor’
4. Peranan Anggota Kelompok yang Tak Dibeda-bedakan
Pada bagian depan telah saya tunjukkan bahwa eksistensi pemimpin dan bawahannya tidak dapat dilihat dengan tegas sekali, dan bahwa tanggungjawab tercampur-aduk di seluruh kelompok. Hal ini berlaku bukan hanya pada hubungan antara atasan dan bawahan tetapi juga pada hubungan pribadi di dalam kelompok. Ciri utama pelaksanaan kelompok tampaknya adalah bahwa peranan tiap orang menurut jabatannya tidak dirumuskan dengan tegas. Organisasi formal kelompok memang memberikan pada setiap orang peranan tertentu yang harus dilaksanakannya. Tetapi dalam prakteknya organisasi informal dari kelompok itu ternyata lebih berpengaruh, dan peran yang dirumuskan secara formal itu tidak selalu dilaksanakan sesuai harapan. Peranan yang sesungguhnya dari seseorang tidak selalu dan tidak perlu berkaitan dengan pangkat atau statusnya. Fungsi pangkat untuk memelihara susunan yang sah di dalam hubungan pribadi, khususnya bila peran itu beroperasi keluar, tetapi tidak mengikat anggota hanya dalam batas-batas peranan yang telah digariskan di atas. Sebaliknya, bila kelompok sedang bekerja maka peranan para anggota perseorangan mudah disesuaikan dengan situasi yang sedang berubah. Pangkat dan peranan bekerja menurut kaidah yang berlainan; penjenjangan pangkat yang kaku diimbangi oleh kelenturan peranan perseorangan dalam kerja.
Di dalam sistem ini seseorang dapat menarik keuntungan besar dari kebebasan berkarya, sedangkan kelompok menikmati keuntungan dari mobilisasi kekuatan kelompok yang efektif dengan meningkatkan kemampuan potensial para anggota individual setinggi-tingginya. Ilustrasi berikut ini akan memperjelas masalah itu. Kita umpamakan ada satu kelompok yang terdiri dari tiga orang anggota, X, Y, dan Z. Setiap anggota diberi peranan tertentu sesuai dengan posisi masing-masing. Bila sesuatu peran secara tegas dipisah-pisahkan sesuai dengan ideologi "bagi kerja", maka setiap anggota diharapkan memberikan jasa sesuai peranannya, tanpa pandang bagaimanapun variasi situasi yang dialami kelompok. Kita misalkan saja kelompok tersebut dihadapkan pada situasi di mana jasa Y sangat diperlukan. Bila kelompok diberi dasar pemisahan peran secara tegas maka penyelesaian pekerjaan mungkin memerlukan waktu, katakanlah, tiga hari. Tetapi bila kelompok tersebut sekalipun didasarkan atas kaidah pemisahan peran namun pelaksanaannya tidak begitu kaku, maka untuk pekerjaan yang sama mungkin hanya diperlukan waktu penyelesaian sehari saja, karena X dan Z juga melakukan peranan Y.
Dengan demikian kemampuan menyesuaikan diri dari kelompok meningkat dalam karya. Namun sistem semacam ini hanya diterapkan oleh orang yang tidak begitu memperhatikan kaidah "bagi kerja". Jelas bahwa di Jepang ideologi bagi-kerja tidak dikembangkan dengan baik, dan pada umumnya orang Jepang yakin sekali bahwa bila perlu seseorang dapat saja melakukan pekerjaan orang yang lain. Seorang Jepang jarang sekali mendapat kepuasan dari satu pekerjaan saja, kecuali jika ia dapat membayangkan seluruh operasi yang sedang dilaksanakan oleh kelompok di mana ia termasuk sebagai anggota. Ia juga cenderung membesar-besarkan peranan seseorang di dalam organisasinya, karena ia mudah sekali menyimpang dari batas-batas peranannya sendiri. Ada kecenderungan yang dikenal umum bahwa orang Jepang akan bersedia memenuhi permintaan sekalipun di luar bidang kemampuannya. Hal ini merupakan antitesis yang sebenarnya dari keyakinan orang Hindu dan sistem kasta mereka.
Dalam praktek orang Jepang juga jelas-jelas bertolak belakang dengan masyarakat Barat. Perbedaan ideologi ini juga dapat diamati secara teratur dalam kehidupan sehari-hari. Orang Jepang (termasuk saya sendiri) sering terkejut menyaksikan bahwa di Barat orang mau menolak sesuatu permintaan kecil dari orang lain yang duduk bersebelahan dengannya, selagi ia sibuk atau tidak ada di tempat. Orang Jepang menunjukkan reaksi tidak mengerti atau tidak dapat menghargai mengapa teman sejawat itu sampai hati menolak permintaan tolong yang mudah dan remeh, hanya dengan mengatakan bahwa hal itu bukan pekerjaannya. Sebab seandainya ia dapat memberikan bantuan niscaya pekerjaan akan menjadi lebih efisien lagi. Demikianlah orang Jepang juga menemukan kekakuan dalam masyarakat Barat, walaupun mereka wajib mengagumi kemampuan orang Barat menyelenggarakan pengkotak-kotakan dan pembagian fungsi sedemikian rapinya.
Kebebasan bertindak seseorang di dalam organisasi Jepang memberikan keleluasaan untuk bekerja kurang atau lebih dari uraian pekerjaan yang sah. Ia dapat menjadi sangat rajin atau sangat malas. Terserah padanya untuk memilih. Sistem itu memberikan ruang untuk perbedaan temperamen dan bakat, karena perasaan seseorang tidak dirumuskan sangat tegas dan karena orang tidak diharapkan melakukan pekerjaan dalam jumlah yang tetap dan tertentu terus menerus, sehingga pekerja yang bersangkutan sesuai kecondongan hatinya dapat melakukan pekerjaan lebih banyak atau makin kurang. Dengan demikian kelompok memelihara angkatan kerja potensial yang sulit ditentukan berapa besarnya menurut istilah teknis. Derajat sumbangan dari masing-masing anggota berbeda-beda yang satu dari yang lain, dan derajat sumbangan dari setiap orang dalam suatu masa juga bervariasi menurut kondisi atau temperamen pribadi. Tetapi berlainan dengan sistem yang diletakkan atas dasar ideologi bagi kerja dan mengakibatkan impersonalisasi, sistem Jepang ini mempertahankan, atau malahan menganggap makin penting unsur-unsur pribadi: pengendalian sosial dan harapan akan keikutsertaan seseorang tidak begitu ketat bila dibandingkan dengan sistem dengan dasar pembagian kerja, di mana orang harus selalu siap melaksanakan peranannya dengan cara yang konsisten. Menurut sistem Jepang, pekerjaan selalu diserahkan pada kelompok tertentu, misalnya satu seksi dalam organisasi, dan pekerjaan itu dilaksanakan atas nama kelompok tersebut, bukan oleh satu orang. Dalam operasi, nyata kepala kelompok tersebut membagi-bagi unsur pekerjaan tertentu kepada seseorang menurut situasi tertentu pada anggota kelompok. Sistem ini memungkinkan terjadinya pembagian pekerjaan yang agak tidak adil, karena anggota yang cakap biasanya diberi lebih banyak unsur pekerjaan ketimbang yang kurang cakap bekerja.
Biasanya di dalam kelompok seperti itu ada anggota yang sangat sibuk tetapi sekaligus juga ada anggota yang sedikit sekali pekerjaannya, walaupun kedua orang itu menerima gaji yang sama besarnya. Imbalan yang diberikan kepada orang yang memberikan jasa lebih banyak tidak diukur dari segi ekonomi, melainkan dalam bentuk sosial. Ia dapat dianggap sebagai orang yang sangat cakap dan mendapatkan penghargaan hangat dari teman-teman sejawat, terutama dari pemimpinnya; ia menikmati perasaan menjadi orang penting dan pengaruhnya di dalam kelompok makin lama makin kuat, sementara orang malas yang kurang prestasi kerjanya tetap memperoleh nilai pas-pasan dalam kelompok itu.
Batas-batas kebebasan bertindak seseorang ditetapkan sedemikian sehingga menjamin berlangsung kegiatan orang tersebut dalam batas-batas kelompoknya saja. Kebebasan diberikan dalam arah yang sama dengan keputusan kelompok. Berapa pun besarnya sumbangan seseorang tidak akan mengakibatkan perubahan tata susunan pangkat. Hasil dari sumbangan masing-masing dengan demikian dinikmati kelompok sebagai keseluruhan. Kesetiaan pada kelompok membentuk dasar pelaksanaan pekerjaan seseorang. Segi moral inilah yang memungkinkan adanya orang yang sedikit prestasinya dalam kelompok, dibiarkan tetap menikmati statusnya sejauh dia tetap setia dan tidak bertentangan dengan kegiatan kelompok.
Apakah sumbangan seseorang di atas atau di bawah standar untuk sebagian besar bergantung pada keselarasan emosional kelompok tersebut. Ini merupakan tanggung jawab utama pemimpin kelompok. Karena itu di Jepang setiap manajer sangat menganggap penting ihwal hubungan di antara para pekerjanya. Tetapi di situ juga terdapat dasar-dasar untuk mempertahankan sistem senioritas dari sistem prestasi jasa. Sistem kewerdaan (senioritas) dikecam menyebabkan merosotnya produktivitas sehubungan dengan orang yang cakap, karena sistem itu melarang promosi orang muda yang cakap untuk memperoleh jabatan yang lebih tinggi di mana kecakapannya dapat dipergunakan secara tepat, dan dengan demikian tanpa kelihatan membawa frustasi orang-orang muda yang memiliki kemampuan besar. Tetapi kecaman seperti ini menganggap ada kaitan antara jabatan seseorang dengan peranan yang telah dirumuskan. Terhadap kecaman ini dapat diberikan bantahan demi sistem kewerdaan, bahwa sistem tersebut memberikan kelonggaran untuk memanfaatkan kecakapan orang-orang muda, terutama dengan biaya murah, dan kemungkinan untuk itu cukup memadai karena peranan tidak dirumuskan secara tegas. Hasil akhir dari kedua macam sistem itu tampaknya seimbang. Tetapi sistem kewerdaan Jepang menyangkut unsur-unsur yang selalu berubah dan tidak dapat diramalkan sehingga sulit untuk memelihara konsistensi dan menyelenggarakan standar prestasi.
Kapankah cakupan tindakan yang luas itu terbuka bagi seseorang, banyak bergantung pada perangsang perseorangan. Sistem ini dapat bersaing dengan sistem prestasi hanya bila sumbangan para anggota perseorangan melampaui standar. Hal ini secara tegas kelihatan dari pernyataan seorang manajer Jepang berikut ini.
"Majikan dan pekerja dalam perusahaan saya terbelenggu nasib. Bila sekelompok orang berhimpun bersama untuk bekerja, hasilnya tidak selalu dinyatakan secara sederhana dengan istilah matematis seperti satu tambah satu jadi dua. Bila dua orang bergabung mereka dapat menghasilkan sama banyaknya dengan yang dicapai oleh tiga atau lima orang yang bekerja terpisah-pisah. Tetapi, bila hubungan mereka satu sama lain tidak baik mungkin hasilnya malah nol. Bila terjadi kesulitan di antara para pekerja, majikan mereka dianggap manajer kualitas rendahan. Perusahaan yang dapat memelihara hubungan antarmanusia yang baik banyak memberikan perangsang dan berhasil dalam bisnisnya."
Pendapat ini didukung oleh hampir semua manajer Jepang. Tetapi tetap ada masalah mengenai cara sistem ini menyesuaikan diri dengan otomatisasi dan spesialisasi teknis yang rumit sekali.
Penyesuaian ini tentu saja merupakan butir yang menentukan, yang merupakan tugas para manajer masa kini. Searah dengan perkembangan ekonomi yang fantastis yang dialami Jepang sesudah perang, bersama dengan diperkenalkannya alat-alat teknis yang maju pesat, manajemen modern (seperti yang terutama dikembangkan di Amerika Serikat) merupakan pokok keprihatinan besar para manajer dan sosiolog Jepang yang mengambil spesialisasi bidang manajemen. Ratusan buku dan ribuan karangan di majalah atau harian diterbitkan khusus untuk membahas masalah pengenalan gaya manajemen Amerika. Pembicaraan sebagian besar berkisar pada dapat disarankannya perubahan dari sistem kewerdaan ke sistem penghargaan prestasi. Pada pokoknya para manajer tampak tetap mempertahankan kepercayaan pada keampuhan sistem kewerdaan, sementara para sarjana dan kritikus cenderung makin mendorong perubahan ke arah sistem prestasi jasa. Para manajer berkata bahwa mereka tidak dapat menempatkan perusahaan mereka di tengah-tengah risiko perubahan itu, sebab bagi mereka perubahan demikian merupakan masalah hidup-mati, sementara di antara para sarjana perubahan tersebut semata-mata merupakan pokok debat akademis.
Masalah ini dikaitkan erat sekali dengan pokok yang sangat menarik dari segi pandangan antropologi. Organisasi formal dan sistem produksi suatu pabrik besar atau perusahaan besar di Jepang mempunyai pola yang sama dengan yang ada di Amerika Serikat. Tetapi organisasi informalnya sangat berbeda, demikian berlainan sehingga sulit membayangkan perubahan struktur informal yang merupakan tenaga penggerak perkembangan industri Jepang. Suatu peralihan dari sistem kewerdaan ke sistem prestasi jasa akan menyangkut bukan hanya perubahan sebagian atau teknis pembayaran gaji atau metode promosi, tetapi juga menyangkut reformasi struktur itu sendiri secara drastis, mulai dari orientasi dasar dari nilai-nilai asli. Sistem prestasi jasa dapat diterapkan hanya secara sangat terbatas dan spesifik, misalnya dalam satu seksi pada perusahaan besar yang memiliki banyak insinyur dengan kualifikasi yang sangat khusus, atau dalam perusahaan kecil yang relatif baru di lingkungan swasta dan sebagainya; sulit dibayangkan bagaimana penerapannya secara umum di dalam organisasi-organisasi besar yang sudah melembaga. Di sini perlu diingat bahwa struktur informal di dalalm pabrik atau perusahaan tertentu erat kaitannya dan berasal dari organisasi sosial yang ada di seluruh negara. Suatu perubahan yang mendasar tidak dapat tidak akan menimbulkan konflik dan kebingungan, dan banyak manajer berpendapat bahwa hasil suatu reformasi dapat jadi merupakan situasi buruk yang jauh lebih sulit dihadapi daripada wabah yang sedang berjangkit.
Sistem tradisional di dalam operasi kelompok di Jepang didasarkan atas keyakinan bahwa energi yang dihasilkan kelompok sebagai keseluruhan membuahkan hasil yang paling efektif; sumbangan bersih dari setiap orang cenderung dilalaikan. Sistem tersebut dianggap ketinggalan zaman dan feodalistis oleh banyak pemikir intelek Jepang yang maju, khususnya bila dibandingkan dengan sistem Amerika. Sekarang cukup menarik bahwa searah dengan orientasi yang ada di Amerika Serikat, yaitu bahwa sistemnya makin menekankan "kekuatan organisasional" atau "tim kerja". Di sini peranan seseorang cenderung kurang ditonjolkan dan keberhasilan dianggap merupakan hasil dari organisasi atau tim kerja yang efektif. Walaupun organisasi kelompok versi Jepang mungkin berlainan dalam hal struktur intern dari organisasi kelompok Barat, tetapi dalam dua kasus tersebut bentuknya sama. Dalam hal ini tidaklah tepat memandang sistem Jepang semata-mata ketinggalan zaman; sebaliknya, menurut kondisi dunia modern sistem itu dapat dikatakan sangat efisien dan dapat dikatakan salah satu alasan mengapa industri Jepang berhasil berkembang hingga titik di mana industri itu cukup mampu bersaing dengan industri negara-negara Barat yang maju.
Baca: Buku Masyarakat Jepang
Comments
Post a Comment