Skip to main content

Jenis Fonem

Jenis Fonem Jenis fonem yang dibicarakan di atas (vokal dan konsonan) dapat dibayangkan sebagai atau dikaitkan dengan segmen-segmen yang membentuk arus ujaran. Kata bintang , misalnya, dilihat sebagai sesuatu yang dibentuk oleh enam segmen — /b/, /i/, /n/, /t/, /a/, /Å‹/. Satuan bunyi fungsional tidak hanya berupa fonem-fonem segmental. Jika dalam fonetik telah diperkenalkan adanya unsur-unsur suprasegmental, dalam fonologi juga dikenal adanya jenis fonem suprasegmental. Dalam bahasa Batak Toba kata /itÉ™m/ berarti '(pewarna) hitam', sedangkan /itÉ”m/ (dengan tekanan pada suku kedua) berarti 'saudaramu'. Terlihat bahasa yang membedakan kedua kata itu adalah letak tekanannya, sehingga dapat dikatakan bahwa tekanan bersifat fungsional. Lain lagi yang diperlihatkan dalam contoh bahasa Inggris berikut. Di sini perubahan letak tekanan tidak mengubah makna leksikal kata, tetapi mengubah jenis katanya. Kata benda Kata kerja ‘import ‘impor’

Proses Penjajahan Dalam Perundang-Undangan dan Kebijakan-Kebijakan Oleh Elite Bangsa Indonesia Sendiri

Proses Penjajahan Dalam Perundang-Undangan dan Kebijakan-Kebijakan Oleh Elite Bangsa Indonesia Sendiri



PROSES PENJAJAHAN DALAM PERUNDANG-UNDANGAN DAN KEBIJAKAN-KEBIJAKAN OLEH ELITE BANGSA INDONESIA SENDIRI

Semua upaya liberalisasi dalam politik dan ekonomi Indonesia menjelma menjadi kebijakan dan perundang-undangan sebagai berikut. Sejak Republik Indonesia berdiri sampai tahun 1967 tidak pernah ada rincian konkret dari ketentuan pasal 33 (JUD 1945 yang bunyinya: "Barang yang penting bagi negara dan cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat." Rinciannya dimulai dengan UU nomor I tahun 1967 dengan maksud agar dapat dikuasai oleh suvasta, terutama swasta asing. Mari kita telaah lebih dalam.

Undang-Undang Nomor 1 tahun 1967

Undang-undang ini adalah yang pertama kali terbit sebagai hasil Tim Ekonomi yang terkenal dengan sebutan The Berkeley Mafia. Saya kutip buku "Economists with Guns" yang menggambarkan lahirnya undang-undang tersebut. Sangat jelas betapa besar pengaruh pemerintah AS, yang praktis mendiktekan isi undang-undang yang sangat krusial guna "penjajahan ekonomi" oleh korporatokrasi dan pemerintah AS. Tentang terbitnya UU nomor I tahun 1967 tersebut, Bradley Simpson menulis:

Hal 235:

"AS sangat dominan memengaruhi penyusunan undang-undang tentang investasi Indonesia. Seorang konsultan dari Van Sickle Associates yang berdomisili di Denver (yang baru saja menandatangani kontrak bagi hasil untuk pembangunan dan pengoperasian 2 perusahaan plywood) membantu ekonom Widjojo membuat undang-undang tentang penanaman modal asing. Setelah draft-nya selesai, para pejabat Indonesia mengirimkannya ke Kedubes RS di Jakarta dengan permohonan agar Kedubes AS memberikan komentar untuk "perbaikan-perbaikan yang mencerminkan pendirian para investor AS." Para ahli hukum dari Kementerian Luar Negeri RS mengirimkan kembali draft undang- undangnya dengan usulan baris demi baris. Mereka keberatan terhadap draft undang-undangnya karena draft tersebut memberikan terlampau banyak kewenangan kepada pemerintah ("too much discretionary authority to the government.), dan karena itu merupakan hambatan buat para investor yang potensial ("discouraging to Potential investors"), karena sektor BUMN diberi peluang untuk banyak bidang usaha yang diinginkan oleh perusahaan-perusahaan besar asing yang ingin memasuki sektor-sektor tersebut, terutama perusahaan-perusahaan ekstraktif. Widjojo mengubah undang-undang yang bersangkutan, yang disesuaikan dengan usulan-usulan dari AS, dengan menggunakan kata-kata yang akan menjamin liberalisasi yang maksimal, yang disukainya juga, tetapi sambil menyogok (placatmg) kaum nasionalis yang selalu waspada terhadap tanda-tanda dari tunduknya Jakarta pada tekanan-tekanan dari Barat. Episode ini mengingatkan kita dengan sangat jelas tentang struktur kekuasaan yang didiktekan oleh para pendukung rezim Soeharto dalam hal keputusan-keputusan sangat penting yang dibuat oleh negara-negara merdeka."

Melalui proses yang digambarkan oleh kutipan tersebut, terbitlah

1. Undang-Undang nomor I tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing

Pasal 6 ayat I berbunyi: "Bidang-bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal asing secara pengusahaan penuh ialah bidang-bidang yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup rakyat banyak sebagai berikut:
a. pelabuhan-pelabuhan;
b. produksi, transmisi dan distribusi tenaga listrik untuk umum;
c. telekomunikasi;
 d. pelajaran;
 e. penerbangan;
 f. air minum;
 g. kereta api umum;
h. pernbangkitan tenaga atom;
 i. mass media".

Jadi asing boleh menguasainya, tetapi harus bersama-sama dengan perusahaan domestik. Sampai berapa persen asing boleh menguasainya dirinci dalam undang-undang berikutnya, yaitu:

2. Undang-Undang nomor 6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri

Pasal 3 ayat (1) dari UU nomor 6 tahun 1968 tersebut berbunyi: "Perusa- haan nasional adalah perusahaan yang sekurang-kurangnya 5 1 % daripada modal dalam negeri yang ditanam di dalamnya dimiliki oleh Negara dan/ atau, swasta nasional. Persentase itu senantiasa harus ditingkatkan sehingga pada tanggal 1 Januari 1974 menjadi tidak kurang dari 75%.

Ini berarti bahwa perusahaan asing sudah boleh memiliki dari perusahaan-perusahaan yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Satu tahun sebelumnya, yaitu dalam UU nomor I tahun 1967 masih belum ada ketentuan berapa persen asing boleh memilikinya.

3. Peraturan Pemerintah nomor 20 tahun 1994

Di tahun 1994 terbit peraturan pemerintah nomor 20 dengan pasal 5 ayat 1 yang isinya membolehkan perusahaan asing melakukan kegiatan usaha yang tergolong penting bagi negara dan menguasai hajat hidup rakyat banyak. Bunyinya sebagai berikut:
"Perusahaan yang didirikan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (l) huruf a dapat melakukan kegiatan usaha yang tergolong penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak yaitu pelabuhan, produksi dan transmisi serta distribusi tenaga listrik untuk umum, telekomunikasi, pelayaran, penerbangan, air minum, kereta api umum, pembangkitan tenaga atom dan mass media."
Pasal 6 ayat 1 mengatakan: "Saham peserta Indonesia sebagaimana di- maksud dalam pasal 2 ayat (l) huruf a sekurang-kurangnya 5% (lima per seratus) dari seluruh modal disetor perusahaan pada waktu pendirian."

Apa artinya ini? Artinya ialah bahwa pasal 6 ayat I UU no. 1/1967 mengatakan bahwa perusahaan asing tidak boleh memasuki secara penuh bidang usaha yang tergolong penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak beserta perinciannya. UU no. 6/1968 pasal 3 ayat I secara implisit mengatakan bahwa asing boleh memiliki dan menguasai sampai 49%. UU no. 11/1966 melarang asing sama sekali masuk dalam bidang usaha pers. PP 20/1994 lalu dengan enaknya mengatakan bahwa kalau di dalam perusahaan kandungan Indonesianya adalah 5% sudah dianggap perusahaan Indonesia yang dapat melakukan kegiatan usaha yang tergolong penting bagi negara dan menguasai hajat hidup rakyat banyak beserta perinciannya, termasuk media massa. Jadi PP no. 20/1994 menentang UU no. 1/1967, menentang UU no. 6/1968, menentang UU no. 11/1966 dan menentang jiwa pasal 33 UUD 1945.

Dalam aspek lain, PP 20/1994 juga menentang UU no. 6/1968 pasal 6 yang berbunyi: " Waktu berusaha bagi perusahaan asing, baik perusahaan baru maupun lama, dibatasi sebagai berikut:

a. Dalam bidang perdagangan berakhir pada tanggal 31 Desember 1977; b. Dalam bidang industri berakhir pada tanggal 31 Desember 1997; c. Dalam bidang-bidang usaha lainnya akan ditentukan lebih lanjut oleh Pemerintah dengan batas waktu antara 10 dan 30 tahun." PP no. 20/1994 menentukan bahwa batas antara boleh oleh asing atau tidak adalah kepemilikan oleh pihak Indonesia sebesar 5%. Tidak ada lagi pembatasan waktu tentang dikuranginya porsi modal asing. Yang sangat menyakitkan juga ialah diambilnya rumusan pasal 33 UUD 1945 secara mentah-mentah, yang lalu dikatakan bahwa itu seka- rang boleh ada di tangan asing dengan kandungan Indonesia 5%. Jadi seperti menantang atau meremehkan UUD 1945.

4. Infrastruktur Summit I

Dalam Infrastruktur Summit I pada tanggal 17—18 Januari 2005 di Hotel Shangri-La yang diselenggarakan oleh Menko Perekonomian Aburizal Bakrie dikemukakan bahwa Indonesia membuka pintunya lebar-lebar buat investor asing untuk berinvestasi dengan motif memperoleh laba dalam bidang infrastruktur dan barang-barang publik lainnya. Kepada masyarakat bisnis dan korporasi diberitahukan bahwa tidak ada cabang produksi yang biasanya disebut public goods yang tertutup bagi investor swasta, termasuk investor asing.

Dalam publikasi yang berjudul "Indonesia, Infrastructure Summit, January 2005" antara lain tercantum ucapan Presiden SBY dan pidato Menko Aburizal Bakrie yang mengatakan: "The January 2005 Summit focused on a large number of concrete opportunities in various sectors such as toll roads, energy, communication, water, and transportation". We invite you to be our partners. We invite you to take advantage Of the huge opportunity to invest in our economy. We invite you to prosper together. The government can provide around 1 70/0 Of the total investment, while the rest is expected from non--government sources."

Wakil Presiden Jusuf Kalla yang menutup Summit antara lain menga- takan: "To put this in sound commercial terms, we wish for outcomes on fees and tolls that are commercially sound, competitively determined, predictable and fair. If the charges and fees for infrastructure services are competitive and tendered, and regulated by contracts that include indexation against cost changes, for example , this makes infrastructure earnings less risky and capable of attracting much capital at reasonable costs."

Catatan: Penebalan huruf oleh saya. Inti dari pidato kedua menteri tersebut adalah: l. Indonesia hanya punya uang sebanyak 1 70/0 untuk membangun in- frastruktur. Sisanya diharapkan dari swasta, terutama swasta asing, karena banyaknya undangan yang ditujukan pada perusahaan asing. 2. Kami mengundang Anda untuk mengambil manfaat dari infrastruktur yang mesti menguntungkan, karena di-indeksasi terhadap biaya (cost).

Sangat jelas bahwa infrastruktur yang barang publik di Indonesia adalah barang dan jasa yang memang dijadikan objek bisnis untuk mem- peroleh laba. Jalan pikiran yang jarang saya jumpai di negara-negara kapitalis dan yang sudah sangat maju, di mana rakyatnya sudah kaya. Na- mun, di Indonesia yang rakyatnya masih miskin harus membayar dalam menggunakan infrastruktur, supaya bisa memberi keuntungan buat para investornya, yang adalah swasta atau domestik, yang semuanya tentunya bermodal besar atau kaya.

5. Infrastruktur Summit Il

Infrastruktur Summit Il diselenggarakan dalam bulan Juni 2006, ketika Menko Perekonomiannya dijabat oleh Boediono. Beliau mengulangi dan mempertegas yang telah dikemukakan oleh pendahulunya, dengan tambahan bahwa tidak akan ada perbedaan perlakuan sedikit pun antara investor asing dan investor Indonesia.

6. Undang-Undang tentang Penanaman Modal nomor 25 tahun 2007

Undang-Undang tersebut menggantikan semua perundangan dan per- aturan dalam bidang penanaman modal. Butir-butir pokoknya dapat die kemukakan sebagai berikut.

  • Pasal 1 yang mendefinisikan "Ketentuan Umum" yang mempunyai banyak ayat itu intinya menyatakan tidak ada perbedaan antara modal asing dan modal dalam negeri. 
  • Pasal 6 mengatakan: ' 'Pemerintah memberikan perlakuan yang sama kepada semua penanam modal yang berasal dari negara mana pun, yang melakukan kegiatan penanaman modal di Indonesia....." 
  • Pasal 7 menegaskan bahwa "Pemerintah tidak akan melakukan tin- dakan nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan pena- naman modal, kecuali dengan undang-undang. 
  • Pasal 8 ayat (3) membolehkan perusahaan asing melakukan transfer dan repatriasi dalam valuta asing dengan keleluasan sangat besar. Untuk lengkapnya seluruh bunyi pasal 8 ayat (3) adalah sebagai berikut. 

"Penanam modal diberi hak untuk melakukan transfer dan repatriasi dalam valuta asing, antara lain terhadap:
a. modal;
b. keuntungan, bunga bank, deviden, dan pendapatan lain;
c. dana yang diperlukan untuk:
  1. pembelian bahan baku dan penolong, barang setengah jadi, atau barang jadi; atau 
  2. penggantian barang modal dalam rangka melindungi kelangsungan hidup penanaman modal; 
d. tambahan dana yang diperlukan bagi pembiayaan penanaman modal;
e.dana untuk pembayaran kembali pinjaman;
f. royalti atau biaya yang harus dibayar;
g. pendapatan dari perseorangan warga negara asing yang bekerja dalam perusahaan penanaman modal;
h. hasil penjualan atau likuidasi penanaman modal;
i. kompensasi atas kerugian;
j. kompensasi atas pengambilalihan;
k. pembayaran yang dilakukan dalam rangka bantuan teknis, biaya yang harus dibayar untuk jasa teknik dan manajemen, pembayaran yang dilakukan di bawah kontrak proyek, dan pembayaran hak atas kekayaan intelektual; dan l. hasil penjualan aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
  • Pasal 12 mengatakan bahwa semua bidang usaha atau jenis usaha ter- buka bagi kegiatan penanaman modal, kecuali produksi senjata dan bidang usaha yang secara eksplisit dinyatakan tertutup berdasarkan undang-undang.
    Lampiran I Perpres 36/2010, antara lain mencakup bidang usaha budidaya ganja, perjudian/kasino, dan industri minuman mengan- dung alkohol.
  • Hak atas tanah menjadi 95 tahun untuk Hak Guna Usaha, 80 tahun untuk Hak Guna Bangunan dan 70 tahun untuk Hak Pakai.

Dari Undang-Undang nomor 1 tahun 1967 sampai dengan UU nomor 25 tahun 2007 terlihat sangat jelas kebijakan pemerintah dalam bidang ekonomi, yang secara sistematis dan konsisten terus diarahkan pada kebebasan atau liberalisasi yang sebesar mungkin. Mekanisme pasar diperankan semakin besar, dan pada akhirnya Indonesia praktis tidak mengenal barang dan jasa publik, yang di mana pun di dunia disediakan oleh pemerintah, dibiayai bersama secara gotong royong dan digunakan dengan cuma-cuma oleh rakyatnya yang membayar pajak. Kalau kita tempatkan dengan latar belakang falsafah tentang sistem ekonomi, sangat jelas bahwa Indonesia termasuk yang menjalankan kebijakan ekonomi sangat liberal. Maka banyak suara yang mengatakan bahwa perekonomian Indonesia sejak tahun 1967 ada di tangan kaum neo-liberal. Gambarannya pada saat ini tidak ada miripnya dengan Pancasila dan UUD 1945.


Buku: Nasib Rakyat Indonesia Dalam Era Kemerdekaan

Comments

Popular posts from this blog

Tanda-tanda Koreksi

6. Tanda-tanda Koreksi Sebelum menyerahkan naskah kepada dosen atau penerbit, setiap naskah harus dibaca kembali untuk mengetahui apakah tidak terdapat kesalahan dalam soal ejaan , tatabahasa atau pengetikan. Untuk tidak membuang waktu, maka cukuplah kalau diadakan koreksi langsung pada bagian-bagian yang salah tersebut. Bila terdapat terlalu banyak salah pengetikan dan sebagainya, maka lebih baik halaman tersebut diketik kembali. Untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan itu, lazim dipergunakan tanda-tanda koreksi tertentu, sehingga antara penulis dan dosen, atau antara penulis dan penerbit, terjalin pengertian yang baik tentang apa yang dimaksud dengan tanda koreksi itu. Tanda-tanda koreksi itu dapat ditempatkan langsung dalam teks atau pada pinggir naskah sejajar dengan baris yang bersangkutan. Tiap tanda perbaikan dalam baris tersebut (kalau ada lebih dari satu perbaikan pada satu baris) harus ditempatkan berturut-turut pada bagian pinggir kertas; bila perlu tiap-tiapnya dipis

Buku Komposisi Gorys Keraf

Daftar Isi Buku Komposisi Gorys Keraf Kata Pengantar Daftar Isi PENDAHULUAN Bahasa Aspek Bahasa Fungsi Bahasa Tujuan Kemahiran Berbahasa Manfaat Tambahan Kesimpulan BAB I PUNGTUASI Pentingnya Pungtuasi Dasar Pungtuasi Macam-macam Pungtuasi BAB II KALIMAT YANG EFEKTIF Pendahuluan Kesatuan Gagasan Koherensi yang baik dan kompak Penekanan Variasi Paralelisme Penalaran atau Logika BAB III ALINEA : KESATUAN DAN KEPADUAN Pengertian Alinea Macam-macam Alinea Syarat-syarat Pembentukan Alinea Kesatuan Alinea Kepaduan Alinea 5.1 Masalah Kebahasaan 5.2 Perincian dan Urutan Pikiran BAB IV ALINEA : PERKEMBANGAN ALINEA Klimaks dan Anti-Klimaks Sudut Pandangan Perbandingan dan Pertentangan Analogi Contoh Proses Sebab - Akibat Umum - Khusus Klasifikasi Definisi Luar Perkembangan dan Kepaduan antar alinea BAB V TEMA KARANGAN Pengertian Tema Pemilihan Topik Pembatasan Topik Menentukan Maksud Tesis dan Pengungkapan Maksud

Bagian Pelengkap Pendahuluan

2. Bagian Pelengkap Pendahuluan Bagian pelengkap pendahuluan atau disebut juga halaman-halaman pendahuluan sama sekali tidak menyangkut isi karangan. Tetapi bagian ini harus disiapkan sebagai bahan informasi bagi para pembaca dan sekaligus berfungsi menampilkan karangan itu dalam bentuk yang kelihatan lebih menarik. Biasanya bagian pelengkap pendahuluan dinomori dengan mempergunakan angka Romawi. Bagian pelengkap pendahuluan biasanya terdiri dari judul pendahuluan, halaman pengesahan, halaman judul, halaman persembahan, kata pengantar, daftar isi, daftar gambar dan tabel, dan halaman penjelasan kalau ada. Bila karangan itu akan diterbitkan sebagai buku, maka bagian-bagian yang diperlukan sebagai persyaratan formal adalah: judul pendahuluan, halaman belakang judul pendahuluan, halaman judul, halaman belakang judul, halaman persembahan dan halaman belakang persembahan kalau ada, kata pengantar, daftar isi, daftar gambar atau tabel serta halaman penjelasan atau keterangan kalau