Skip to main content

Jenis Fonem

Jenis Fonem Jenis fonem yang dibicarakan di atas (vokal dan konsonan) dapat dibayangkan sebagai atau dikaitkan dengan segmen-segmen yang membentuk arus ujaran. Kata bintang , misalnya, dilihat sebagai sesuatu yang dibentuk oleh enam segmen — /b/, /i/, /n/, /t/, /a/, /Å‹/. Satuan bunyi fungsional tidak hanya berupa fonem-fonem segmental. Jika dalam fonetik telah diperkenalkan adanya unsur-unsur suprasegmental, dalam fonologi juga dikenal adanya jenis fonem suprasegmental. Dalam bahasa Batak Toba kata /itÉ™m/ berarti '(pewarna) hitam', sedangkan /itÉ”m/ (dengan tekanan pada suku kedua) berarti 'saudaramu'. Terlihat bahasa yang membedakan kedua kata itu adalah letak tekanannya, sehingga dapat dikatakan bahwa tekanan bersifat fungsional. Lain lagi yang diperlihatkan dalam contoh bahasa Inggris berikut. Di sini perubahan letak tekanan tidak mengubah makna leksikal kata, tetapi mengubah jenis katanya. Kata benda Kata kerja ‘import ‘impor’

Penghancuran Melalui Sistem Keuangan

Penghancuran Melalui Sistem Keuangan


PENGHANCURAN MELALUI SISTEM KEUANGAN


Kalau tadi disebutkan peran pemerintah yang semakin minimal dalam produksi dan distribusi barang dan jasa, walaupun termasuk kategori barang dan jasa publik, tidak kalah pentingnya ialah liberalisasi dalam bidang keuangan. Justru sistem inilah yang merupakan frontier untuk membuat negara-negara mangsa tergantung dan dikendalikan. Dalam buku yang tadi telah disebut, yaitu A Game As As Empire, Stewen Hiatt sebagai editornya menulis bahwa "....pembayaran dari negara-negara dunia ketiga berjumlah sekitar US$ 375 miliar per tahun atau 20 kali lebih besar dari jumlah uang yang diterimanya dari negara-negara kaya. Sistem ini juga disebut Marshall Plan yang terbalik, dengan negara-negara dari belahan Selatan dunia memberikan subsidi kepada negara-negara kaya di belahan Utara dunia, walaupun separuh dari manusia di dunia hidup dengan US$ 2 per hari." (halaman 19)

Indonesia masuk ke dalam jebakan utang (debt trap) tersebut. Sejak tahun 1967 dibentuk perkumpulan dari negara-negara kaya yang disebut Inter Governmental Group on Indonesia (IGGI) yang berubah nama menjadi CGI. Pekerjaannya hanya memberi utang setiap tahunnya kepada Indonesia. Dengan utang yang tanpa henti diberikannya sejak tahun 1967 sampai sekarang, bangsa Indonesia tidak bertambah makmur dan sejahtera secara berkeadilan.

Utang luar negeri dari IGGI/CGI diberikan denganpenyesatan. Selama Orde Baru, AP BN selalu disebut berimbang, walaupun pengeluarannya senantiasa lebih besar dibandingkan dengan pemasukannya. Entah apa pertimbangannya, semua pemasukan dihabiskan untuk pengeluaran yang disebut "Anggaran Rutin". Pengeluaran untuk pembangunan selalu ada, karena memang selalu ada pembangunan berbagai proyek oleh pemerintah. Pembiayaan dari seluruh pembangunan inilah yang dibiayai oleh IGGI/CGI dalam bentuk utang luar negeri.

Jadi keseluruhan AP BN jelas defisit, yang ditutup dengan utang luar negeri. Namun, AP BN toh disebut "berimbang", karena utang dari IGGI/CGI dituliskan dengan nama "Pemasukan untuk Pembangunan", tidak disebut dengan kata "Utang". Dengan demikian, dalam pidato yang mengantarkan APBN/N0ta Keuangan Oleh Presiden setiap tahunnya, selalu disebutkan bahwa "AP BN berimbang dengan jumlah RpX triliun." Sebagai pengamat/penulis, sejak tahun 1980 saya terus-menerus menulis tentang keanehan ini, tetapi tidak ada yang menggubris sampai saya diangkat menjadi Menko EKUIN. Dalam kedudukan ini saya memperoleh keterangan bahwa utang luar negeri dari IGGI/CGI, Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia tidak ditulis sebagai utang karena tingkat suku bunganya yang rendah (istilah mereka concessional).

Namun, baru dalam kedudukan sebagai Kepala Bappenas saya memperoleh kesempatan untuk memberikan pidato yang judulnya diberikan oleh mereka, yaitu "The effectiveness of aid". Karena ketika menyusun pidato tersebut saya sudah mengetahui tentang penyesatan yang telah diberlakukan selama 32 tahun, maka saya jelaskan perbedaan antara utang (loan) dan bantuan (aid) dalam sebuah pidato sebagai berikut.


MENTERI NEGARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/KEPALA BAPPENAS

Statement of the State Minister for National Development Planning/ Chairman of National Planning Agency at the Consultative Group Meeting on Indonesia

Jakarta, 7-8 November 2001

Effective Use of Foreign Aid



Excellencies, Ladies and Gentlemen:

When I was given the task to prepare a speech with the topic: " Effective Use of Foreign Aid" I was immediately faced with a dilemma. On the one hand, it is my duty as a government official to present to you our policies and progress on the effective use of foreign aid. On the other hand, fee totally embarrassed to be confronted with the task to justify an activity, which essentially amounts to begging for debt on behalf of our nation. This feeling is made even worse by the fact that our total stock of debt has exceeded a limitations of sustainability and prudence, as we as the fact that I can not promise you that some of this new debt will not be corrupted again as it has been in the past.

I decided to stand in front of you today because I know that without new lending from friendly creditor nations, our people may have to endure ever worsening hardships and poverty.

As we all know, this forum wi end with pledges from CGI members. Since the formation of IGGI, the largest component of such pledges have been in the form of debt and interest payments that must be repaid. I would like to make an important clarification that such pledges should be referred to as "loan pledges" rather than "aid pledges." There are indeed components of these pledges that will come in the form of grants which do not have to be repaid. Such grants can indeed be referred to as "aid ". It is very important to make this clarification and distinction before starting a discussion on the requirements and effectiveness in using such loans and grants.

There is a large difference in measuring the effectiveness of a loan and the effectiveness of aid. Aid should be measured by the extent to which it reaches the intended target. Aid disbursements do not have to be returned or repaid. Aid a so does not come with periodic interest burdens. As such, effectiveness measurement of aid is fairly straightforward, namely whether or not the aid reaches t's intended target optimally. Aid can be used to fund protects that do not necessarily provide economic added values. Aid does not need to produce positive cash flow. Aid funding 's considered effective 'f it reaches its target without waste or corruption.

A loan or credit is very different than aid. A loan can only be considered effective if the project funded by the loan can produce enough positive cash flow to repay both the principle and interest in accordance with its agreed upon payment schedule. Therefore, the funding used to repay the principal and interest of a loan on a timely basis should be derived from the added value generated by the relevant project, not by simply liquidating or selling the project.

What we have today is a government experiencing a severe liquidity shortfall, yet obligated to pay the principal and interest in accordance to international standards of government loan agreements. Because the government does no have the requisite funding to pay the principal and interest due, and because there is little that the government can do to generate liquidity, the international community has no choice but to reschedule loan principals which have come due. But what about the interest? What if the government does not even have enough money to pay interest? Would the international community allow us to reschedule interest payments? In fact, this time we have no choice indeed, but to request for a rescheduling of interest payments, and we shall eagerly wait and see how the members of Paris Club Ill will respond to this request.

Let me get back to the different ways a loan can be repaid. The first way would be repaying the loan from cash flow generated by value added activities. In essence, the loan will be liquidated by virtue of the projects ability to create wealth or added value. The project and its ownership stays intact and all the machines or infrastructure within the project will continue to function productively, even after principal and interest payments are facilitated. This is consistent with a very rudimentary principle about loans, in that it should have a "self- liquidating character".

But if the project funded by a loan fails to create wealth or added value, the project itself may have to be so d or liquidated, and the proceeds used to repay the loan. This is what is currently taking place in Indonesia. Loans are now repaid by selling or liquidating the projects funded by the loans.

I would like to use an example from the business world. Picture an entrepreneur who builds a factory funded by a loan. After operating the factory for some time and failing to generate added value, the entrepreneur sells his factory in order to repay the loan. He then obtains a new loan and starts a new factory Again, the factory failed to create wealth and the entrepreneur sells the factory to repay the loan. This entrepreneur will not be considered very adept at running his business and may not get a new loan the next time around.

Yet, this is exactly what has happened in Indonesia, both in the private sector as well as in government. We all know the extent of the shortfall and pressure in our government budget. For decades, loans to the government of Indonesia has not been used effectively. It has not created wealth or the value added necessary to repay such loans. In addition, since the crisis of 1997, the government has not only been burdened by its own loan repayments, but also by the massive theft and corrupt on performed by a handful of conglomerate owners. I don't need to detail this any further, as I am sure you all are fully aware of these facts. How could all of this have happened? The answer is c early that for decades the government of Soeharto has not utilized the loans effectively, the requirements and prudential principles for utilizing the loans were not followed and, most importantly, a large portion of these loans were corrupted.



Excellencies, Lades and Gentlemen,

I have spoken like this all too often. I have been reminded by senior economists, many of whom have had or still have important roles in the management of our economy, that I shoud stop looking in the rear-view mirror and start looking into the future.

Yet I refuse to take this advise, especially when t comes from the same economists who played a large ro e in turning Indonesia into a nation of beggars. Your excellencies, these are the same economists that completely mismanaged our foreign debt and drove our country into its current hardship. In relation to this, I would ke to quote President Megawati from a speech she made during her recent trip to Tokyo. She said: "isn't it nice that the same people who totally destroyed our debt management can still give us all sorts of advise?"

A way of thinking that prevents us from looking into the past is totally absurd and narrow. We must look into the past often and continuously if we want to prevent ourselves from making the same mistakes all over again. It is a so important to look into the past very carefully and diligently if we want to find a solution to the mistakes that were made. In order to find an appropriate solution, it's always useful to understand the cause of the problem. Developing economic policy without learning from history, is akin to a doctor that prescribes treatment without reviewing the patients medical record. It is simply a dangerous and, often, a futile exercise.

I don't look into the past to entertain myself and sadistically enjoy the suffering endured by our nation. I look into the past to find causes and effects of problems and to find ways to prevent similar causes and effects in the future. So it is ultimately unfair and unjust if they who made these mistakes in the past now manage to cling to power and attempt to bury the past. They prevent honest and welI-intentioned people to find proper remedies by properly understanding the causes and effects of past corruption and mismanagement.

I have also been criticized for being too repetitive in pointing out the mistakes and problems of our foreign debt management. Again, this is a criticism that I cannot simply accept. Why don't these same people criticize Coca-Cola or McDonalds. These companies also repeat their message over and over again to improve the sales of their products. Isn't t much easier to understand these consumer products than the complexities of foreign debt exposure and the resulting liquidity problems? Are they bored of the repetitiveness, or are they afraid that repetitiveness will eventually uncover the sins of those who criticize.

Regarding our domestic debt, which has now reached at least 650 trillion rupiahs, I have also been criticized for talking too much about the problems caused by such a large exposure. Again, I am suspicious that these are not constructive criticisms. These are criticisms intended to cover and bury previous injustices. These are also criticisms intended to appear intelligent in order to cling to power. These criticisms come from the same bureaucrats who allowed bank owners to repeatedly violate legal ending limits, channeling large sums of depositors money into their own companies through marked-up lending. The facts are overwhelming. Just take a look at IBRA. The problems that continue to persist in the Indonesian recapitalized banking system is still construed by several analysts as a "ticking time bomb." Unfortunately many in our government continue to practice ostrich politics. We stick our head in the sand when faced with dfficult questions.

Off-course, what we are discussing today are not non-performing loans of the private sector, but oans to the Government of Indonesia from creditor nations who have gathered in this room today. Are these debts also corrupted, so we can no longer repay them, even when we continue to d g a ho e to close another? For me the answer is very clear. Professor Sumitro Djojohadikusumo, the founder of the School of Economics of the most prestigious University of Indonesia, and thus very well respected guru of the governing technocrats, once stated that no less than 30% of the loans provided to the Government of Indonesia had been stolen. This means that at least 30% of your loans had been stolen. So Professor Tinbergen, who was one of my famous teachers was indeed correct. As far back as the fifties he was already worried that foreign lending has a tendency to transfer the wealth of the poor people in rich countries to the rich people in poor countries. This is exactly what has happened in Indonesia.

The crux of all problems s of course corrupt on. But not limited only to corruption of embezzling money, but corruption of logical and moral behaviour and predispositions. Among others, such predispositions have given rise to self deceit in our government. A deficit budget is said to be "balanced." Loans that have to be repaid with interest are called "development income. " Creditor nations are called " donor countries. " Even the title of my speech that was given to me still used the work "aid" and not "loans." Sometime back, when our debt service ratio increased to 20%, the economic ministers of Indonesia said that the "debt service rat o" is not an appropriate benchmark any longer. A more appropriate measure would be debt as a percentage of GDP, which was stiIl considered low. So lending continued to be fuelled by the corrupt mind set. New loans were used to cover obligations of old loans. When this was no longer possible, like it or not, we were forced to beg for the restructuring our loans. This took place in 1999, in 2000 and now, again, through the coming third Paris Club.




Excellencies, Ladies and Gentlemen,

If look into the past again, the conclusion is very simple. The "requirements" for getting a new loan should be fairly straightforward, namely "stop corruption" To make the loan more "effective" it's the same simple formula: "stop corruption". Again, by corruption I don't mean simply siphoning off funds, but also allowing our mindsets and morality to be corrupted by self deceit and cheating the public.

I fully realize that the gap between saying "stop corruption" and realizing it is as large as the gap between heaven and earth. Corruption in Indonesia has metamorphosed into a key component of the Indonesian livelihood and culture. It's become a way of life and has spread deep into the roots of society. I am faced with the problems of corruption every day. Nonetheless, no matter how heavy a burden and difficult it is to eradicate corruption, we must continue to recognize that it is the primary cause of our maladies and hardships, and we must always continue our attempts to stamp it out.

Indeed, eradication of corruption, or even a significant reduction in corruption, cannot be accomplished overnight. About more than twenty years ago, Mohammad Hatta, one of the founding fathers of our nation, was appointed as a member of an Anti Corruption Taskforce under the leadership of Mr. Wilopo. Back then, he already stated that corruption in Indonesia has already become a cultural trait. In October of 1987, acting as the spokesperson for PDI in parliament, I stated for the record that "PDI has noted that corruption has become a serious and worrisome Issue. Besides financial losses to the nation and losses to the well being of our people, corruption has destroyed our character, become a way of life and ruined the mentality and morality of a large proportion of our population. From high ranking officials to ordinary people, from adults to children, we have become used to falsifying documents, bribery, cheating and deceit. Even parents take pride in how their children obtain driver's licences by bribing the police when they haven't reached the qualified age."

Today, with much sorrow and regret must say that corruption has not much improved since the downfall of Soeharto. In some cases, it has even gotten worse. So, what does this all mean? Since 1987, I have been repeating the same theme over and over again while experiencing increasingly wild, brutal and damaging corruption. Yet, I would like to appeal for our honest diagnosis of the problem. Corruption cannot be eradicated in a short time frame. Please realise that the loans that you are about to provide are loans that are given under duress, and still provided in a corrupt environment as we have today.



Excellenties, Ladies and Gentlemen,

The remainder of my speech focuses on the discussions of four specific issues which show you the efforts that have been taken by my Department to remedy the challenges faced by our budget. The issues include: the changing portfolio composition, coordination Of foreign borrowing, fiduciary responsibility and on- lending policy. However, in the interest of time I will stop here and leave it up to you to read the remainder of the speech that will be distributed to you.

Thank you very much.




Pidato di atas dapat diterjemahkan secara bebas sebagai berikut.

Paparan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/KepaIa Bappenas Pada Consultative Group Meeting on Indonesia (CGI),

Jakarta, 7-8 November 2001

Penggunaan Bantuan Asing Secara Efektif



Yang Mulia,
Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya Yth.,

Ketika saya menerima tugas untuk mempersiapkan pidato dengan judul "Penggunaan Bantuan Asing secara Efektif" segera saja saya dihadapkan pada dilema. DI satu pihak adalah kewa ban saya sebagai pejabat pemerintah untuk memaparkan kepada Anda kebijakan dan kemajuannya dalam menggunakan bantuan asing secara efektif. Di lain pihak saya sangat malu dihadapkan pada suatu tugas untuk membenarkan pengemisan untuk memperoleh utang untuk bangsa kami. Perasaan ini lebih diperparah dengan kenyataan bahwa jumlah utang luar negeri kita sudah melampaui semua batas-batas kesinambungan dan kepatutan. Faktor la'n adalah bahwa saya tidak dapat menjamin bahwa utang yang Anda berikan tidak akan dikorup lagi seperti yang selalu telah terjadi di masa lampau. Namun, saya memutuskan hadir di hadapan Anda sekalian karena saya tahu bahwa tanpa utang baru dari negara-negara sahabat dan kreditor Indonesia, rakyat kita akan lebih menderita lagi.

Forum ini akan diakhiri dengan pledges dari negara-negara anggota CGI. Seperti sejak awal pembentukan IGGI, bagian terbesar dari pledges adalah utang yang harus dibayar kembali, dan sebagaimana layaknya, utang mengandung kewajiban membayar bunga. Buat siapa pun ini namanya loan dan bukan aid. Memang ada bagian dari pledges yang bentuknya adalah grant yang tidak perlu dibayar kembali. Kalau grant semacam ini disebut aid tidak ada orang yang berkeberatan.

Perbedaan ini penting dan relevan untuk topik pembicaraan hari ini, yaitu requirements dan effectiveness dari penggunaannya.

Ditinjau dari sudut effectiveness, ada perbedaan antara loan dan aid. Kalau kita berbicara tentang aid, maka jumlah yang bersangkutan harus dihabiskan dengan cara yang mengena pada sasarannya, atau optimal. Jumlah aid yang harus dihabiskan tidak perlu dibayar kembali dan juga tidak menanggung beban pembayaran bunga setiap bulan atau setiap tahunnya. Maka ukurannya hanyalah satu, yaitu apakah penggunaannya memenuhi sasaran secara optimal. Dengan demikian, aid dapat digunakan untuk pembiayaan proyek-proyek yang tidak perlu mendatangkan nilai tambah yang tangible. Karena itu aid tidak perlu menghasilkan cash flows. Aid dianggap effective penggunaannya apabila dapat dihabiskan mengena sasaran tanpa korupsi.

Lain halnya dengan loan. Penggunaan loan baru bisa disebut effective kalau proyek yang dibiayal oleh loan yang bersangkutan dapat mendatangkan cash flows, sehingga ada dana untuk membayar kernbali cicilan utang pokok maupun interest-nya pada waktu pembayarannya sudah due.

Jadi yang dipakai untuk membayar kembali loan maupun interest-nya yang sudah due adalah nilai tambah dari proyek-proyek yang dibiayai oleh loan. Se- kali lagi, nilai tambah proyeknya, bukan harus menjual proyeknya.

Yang kita hadapi sekarang adalah bahwa pemerintah Indonesia yang ditinjau dari sudut liquidity sudah bankcrupt, menurut kebiasaan internasional yang dberlakukan kepada Indonesia haruslah membayar kembali loan lengkap dengan interest-nya. Karena memang tidak mempunyai uang, sehingga tidak ada yang dapat diperas lagi, buat masyarakat internasional tidak ada pilihan lain kecuali menjadwalkan pembayaran ciciIan utang pokok yang sudah jatuh tempo. Bagaimana kalau untuk membayar bunganya saja juga sudah tidak mampu? Bolehkah pembayaran bunga yang jatuh tempo setiap bulan, atau setiap kuartal, atau setiap tahunnya dijadwalkan juga? Kita menunggu bagaimana sikap Paris Club Ill terhadap rencana Indonesia yang nampaknya terpaksa harus minta penundaan pembayaran bunga yang sudah jatuh tempo.

Jadi ada dua cara pembayaran kembali loan. Cara yang pertama adalah dengan menggunakan loan untuk memperbesar nilai tambah, dan dari nilai tambah inilah loan dapat dbayar kernbali. Yang dilikuidasi adalah loan itu sendiri dari kemampuan menciptakan kekayaan atau nilai tambah dari proyek-proyek yang didanai oleh loan itu. Proyek yang didanai oleh loan tetap utuh, dan bahkan masih terus berfungsi sebagai money machine yang setelah pernbayaran kembal' cicilan utang pokok dan bunganya, masih mengalirkan cash flows. Prinsip ini adalah prinsip yang sangat elementer tentang loan, yang kita kenal dengan sebutan bahwa loan should have a self liquidating character.

Namun, apabila loan gagal dipakai untuk menciptakan nilai tambah seraya tetap mempertahankan kepemilikan proyek yang dibiayainya, maka proyeknya itulah yang terpaksa harus dijual, dan proceed-nya dipakai untuk membayar utang. Inilah yang terjadi dengan Indonesia dewasa ini. Loan sudah harus dibayar dengan cara menjual proyek yang dibangun oleh loan itu sendiri.

Kalau saya boleh mengambil analogi dari dunia usaha, bayangkan adanya pengusaha yang membangun pabrik dengan loan, dan setelah beroperasi beberapa saat seluruh pabriknya harus dijual untuk membayar kembali loan-nya. Lalu dia mulai dengan pendirian pabrik lagi, dan setelah itu, pabrik harus dijual lagi untuk membayar kembali loan berikut bunganya. Jelas bahwa pengusaha yang bersangkutan akan dinilai sebagai tidak becus atau insane. Inilah yang exactly terjadi dengan sangat banyak konglomerat kita di sektor dunia usaha swasta dan sekaligus juga terjadi pada rumah tangga negara kita. Segi finansial dari rumah tangga negara yang setiap tahunnya diwujudkan dalam APBN sudah sama-sama kita ketahui betapa hancur leburnya. Kecuali bahwa selama puluhan tahun loan oleh pemerintah terbukti tidak dipakai secara effective, sejak krisis tahun 1997, anggaran pemerintah harus menanggung berbagai beban yang disebabkan oleh pencurian besar-besaran yang dilakukan oleh a handful of owners of conglomerates. Tidak perlu saya rinci jumlah-jumlahnya, karena saya yakin Anda telah mengetahuinya.

Mengapa hal ini semuanya bisa terjadi? Jawabnya jelas, ya itu yang tercantum sebagai topik pembicaraan hari ini, karena selama puluhan tahun sejak pemerintahan Soeharto, loan tidak dpakai secara effective, atau karena requirements dari penggunaan dan prudential principles dari penggunaan loan itu tidak dipenuhi, bahkan bagian sangat besar dari loan itu terang-terangan dikorup.




Yang Mulia,
Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya Yth.,

Saya sudah terlampau sering berbicara seperti ini. Karena itu saya diingatkan oleh beberapa ekonom senior yang selama berpuluh-puluh tahun mengelola ekonomi negara ini. Mereka mengatakan supaya saya jangan hanya bisa melihat kaca spion atau melihat ke belakang, tetapi bagaimana ke depannya?

Jelas saya tidak dapat menerima ungkapan seperti itu, apalagi kalau datangnya dari para ekonom beserta kerabatnya yang menjadikan Indonesia sebagai pengemis kepada Tuan-Tuan yang terhormat. Bukankah mereka yang selama puluhan tahun mengelola utang luar negeri sampai menjadi seperti sekarang ini? Maka dalam kaitan ini, saya ingin mengutip ucapan Presiden Megawati di Tokyo yang mengatakan: " Enak saja sekarang memberikan macam-macam nasihat setelah mereka membuat rusak sama sekali pengelolaan utang luar negeri kita."

Adalah absurd pikiran yang mengatakan bahwa dalam kehidupan ini kita tidak boleh menengok ke belakang. Menengok ke belakang berkali-kali, dan bahkan terus-menerus adalah keharusan kalau kita tidak mau mengulang kesalahan yang sama.. Menengok ke belakang secara teliti juga keharusan kalau kita ingin mencari solusinya. Bukankah untuk menemukan solusi dari sebuah masalah kita perlu mengetahui sebab musababnya terlebih dahulu? Bayangkan kalau seorang dokter yang harus memberikan terapi tidak boleh mengenali medical record sang pasien.

Saya selalu melihat ke belakang tentang sebab musabab terjadinya malapetaka yang demikian hebatnya dalam utang kita, tidak dengan orientasi untuk meng-entertain diri saya sendiri secara sadistis menikmati kesengsaraan yang sedang diderita oleh bangsa saya sendiri. Orientasinya adalah mengenai sebab musababnya supaya tidak diulangi lagi. Maka sangatlah tidak fair dan bahkan sangat jahat kalau mereka yang melakukan kesalahan fatal, dan sekarang ini selalu saja berusaha melekat pada kekuasaan, bahkan ingin menutupi dengan cara galak memarahi yang secara jujur dan tulus ingln mengenali sebab musababnya, namun dengan orientasi dan maksud untuk tidak mengulanginya lagi, dan sekaligus dari diagnosa itu mencoba memperoleh terapinya.

Saya juga dikritik bahwa saya terlampau banyak mengulang-ulang berbagai aspek kesalahan pengelolaan utang luar negeri. Jelas kritikan ini juga tidak bisa saya terlma. Mengapa mereka tdak mengkritik iklan-iklan yang ratusan atau bahkan ribuan kali mengulang supaya kita membeli Lux soap, membeli Coca-Cola, membeli McDonald Hamburger? Bukankah memahami dan mengingat produk-produk tersebut beserta mereknya jauh lebih mudah ketimbang memahami seluk beluk utang luar negeri yang telah membuat pemerintah kita bangkrut dalam bidang liquidity-nya? T dak mengertikah mereka hal yang sesederhana ini, ataukah memang ada kekhawatiran bahwa ketidakbecusannya terkuak di hadapan Tuan-Tuan sekalian?

Tentang utang Indonesia yang sampai mencapai sekitar paling sedikit Rp650 triliun (pada saat in ditulis, yatu per akhir Februari 2015 sudah meningkat menjadi USD 298,9 miliar, yang kalau dikalikan dengan kurs yang berlaku atau Rp14.500 sama dengan Rp4.334 triliun) itu dengan beban bunga yang demikian besarnya dalam anggaran negara kita, saya juga dikritik supaya jangan terlampau banyak berbicara. Bukankah kritik-kritik itu tidak bermaksud jahat untuk menutupi ketidakbecusannya di masa lampau, tetapi sekarang ingin terus melekat pada kekuasaan? Bukankah mereka yang membiarkan para pemilik bank itu melanggar legal lending limit dengan cara memakai uang masyarakat yang dipercayakan kepada banknya untuk membiayai perusahaan-perusahaannya sendiri sambl melakukan mark up besar-besaran? Bukti-buktinya sekarang menumpuk di IBRA. Permasalahan bank-bank di Indonesia, konsep rekapitalisasi, proses pemburukannya yang berjalan terus merupakan benang kusut tersendri yang merupakan bom waktu yang akan meledak. Lagi-lagi kita selalu cenderung melakukan politik burung onta (struisvogelpolitiek) yang membenamkan kepalanya ke dalam pasir ketika sudah tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sulit.

Namun, yang kita bicarakan hari ini bukannya utang oleh swasta, melainkan utang dari negara ke negara atau utang dari negara-negara kreditor yang hari ini berkumpul dalam ruangan ini kepada pemerintah Indonesia. Apakah utang itu juga dikorup, sehingga sekarang sudah tidak mampu lagi membayarnya kernbali, walaupun gali lubang tutup lubang sudah dilakukan? Buat saya sangat jelas. Tidak kurang dari mahaguru para arsitek dan pengelola pembangunan negara ini sendiri, yang begitu disegani sehingga disebutnya sebagai Ayatollah ekonomi, yaitu Prof. Sumitro Djojohadikusumo yang mengatakan bahwa kebocoran dalam penggunaan utang kepada pemerintah Indonesia paling sedikit sebesar 30%. Ini berarti bahwa menurutnya paling sedikit 30% dari piutang Anda telah dicuri. Benarlah yang sejak tahun lima puluhan sudah ditakuti oleh Prof. Jan Tinbergen tentang adanya kencenderungannya transfer kekayaan dari orang-orang miskin pembayar pajak yang tekun di negara-negara kaya kepada orang-orang kaya yang korup dari negara-negara miskin.

Maka sebab musababnya adalah korupsi. Namun, tidak terbatas pada korupsi dalam arti sekadar mencuri uang, melainkan korupsi yang sudah menyusup ke dalam mind set atau pola pikir yang korup. Maka anggaran negara yang defisit disebut sebagai berimbang. Utang yang harus dibayar kembali dengan beban bunga disebut sebagai pemasukan pembangunan. Negara-negara kreditur disebut sebagai donor countries, dan tidak sebagai creditor countries. Judul penugasan kepada saya untuk berbicara hari ini pun masih menggunakan kata "aid" dan bukan kata "loan". Ketika jauh-jauh hari sudah diingatkan bahwa debt service ratio sudah melampaui 20%, oleh para pengelola ekonomi negara klta dikatakan bahwa ukurannya bukan persentase dari kewajiban membayar utang terhadap pemasukannya, melainkan kewajiban pembayaran utang terhadap GDP, dan ini mash rendah, kata mereka. Maka diteruskanlah pola pikir yang korup itu dengan cara melakukan utang baru untuk dapat membayar utang yang lama. Ketika sambi melakukan hal itu sudah tidak dimungkinkan lagi, mau tidak mau, suka atau tidak suka, permintaan penjadwalan kembali utang harus dimintakan pada tahun 1999, tahun 2000 dan the third Paris Club sudah dikumandangkan.




Yang Mulia,
Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya Yth.,

Kalau saya tadi untuk kesekian kalinya menengok ke belakang, kesimpulannya memang sederhana, yaitu bahwa requirements untuk mendapatkan utang yang harus dipenuhi cukup sederhana, yaitu jangan dikorup. Supaya utang digunakan effectively, jawabnya juga sama, yaitu lagi-lagi jangan dikorup. Dan korupsi tidak sekadar dimaksud tidak mencuri uang, tetapi juga supaya korupsi tidak dibiarkan merasuk ke dalam pola pikir yang menipu atau mengenakkan diri sendiri, serta dengan sendirinya menyesatkan pendapat publik.

Saya menyadari sepenuhnya bahwa gap antara mengatakan " jangan korupsi lagi" dan mewujudkannya adalah bagaikan bumi dan langit. Korupsi telah mendarah daging, telah menjadi kebudayaan, telah menjadi way of life, telah menyebar sangat luas dan berakar sangat dalam. Ini semuanya saya ketahui dan saya alami setiap hari. Namun, betapapun berat pekerjaan pemberantasan korupsi, tidak berarti bahwa kita tidak boleh mengenalinya sebagai akar semua permasalahan dan mengatakannya terus-menerus.

Maka saya pun menyadari bahwa pemberantasan atau bahkan pengurangan korupsi yang signifikan di Indonesia masih akan makan waktu sangat lama. Anda bayangkan, bahwa ketika Moh. Hatta menjadi anggota Tim pemberantasan korupsi yang dipimpin oleh Wilopo, beliau telah mengatakan bahwa ciri-ciri korupsi di Indonesia telah menjadi kebudayaan. Adapun saya sendiri, pada tanggal 28 Oktober 1 987 di depan Sidang MPR, sebagai juru bicara PDI tentang korupsi saya katakan: "PDI mencatat bahwa korupsi telah mengambil proporsi yang amat mengkhawatirkan. Kecuali negara kehilangan banyak uang dari praktik-praktik korupsi, yang sangat diprihatinkan oleh Fraksi PDI adalah korupsi yang sudah merusak kepribadian, sudah menjadi cara dan gaya hidup, sudah merusak mental dan moral sangat banyak warga negara kita, dari pejabat tinggi sampai rakyat biasa, dari orang dewasa sampai kanak-kanak. Kita sudah sangat terbiasa mengeluarkan uang untuk memasukan berbagai dokumen yang dkeluarkan oleh aparat pemer'ntah, dan menyelesaikan berbagai masalah hukum dengan uang. Orang tua bercerita dengan bangga betapa cerdik dan nakal putranya yang masih di bawah umur, tetapi bisa memiliki SIM". Dengan sangat menyesal harus saya katakan bahwa korupsi belum membaik sejak berhentinya pemerintahan Soeharto, bahkan lebih menjadi-jadi.

Apa artinya kesemuanya ini? Saya yang sejak tahun 1987 sudah berkata seperti tersebut tadi di depan Sidang MPR yang terhormat dan menyakskan korupsi lebih ganas, lebih brutal dan lebih hebat sampai hari ini, sekarang juga sekaligus ingin mengimbau untuk jujur melihat permasalahan, bahwa korupsi yang sudah berlangsung demikian lamanya, tidak dapat ditiadakan begitu saja. Hendaknya Tuan-Tuan sadar bahwa loan yang akan diberikan adalah loan yang diberikan dalam keterpaksaan harus diberikan dalam kondisi yang masih sekorup ini.

Namun, apakah tekad untuk menguranginya tidak ada? Ada, yaitu yang telah tertulis da am dokumen yang akan saya bagikan kepada Tuan-Tuan sekalian, agar saya dapat mengakhiri pidato saya demi penghematan waktu". Demikian pidato saya. Setelah pidato ini , dalam acara tanya jawab, pemimpin sidang yang Wakil Presiden World Bank, Dr. Kasum, mengatakan bahwa pinjaman kepada Indonesia disebut AID karena bunganya yang sangat rendah, yang disebut concessional rate. Saya didukung oleh beberapa negara yang hadir, yang mengatakan bahwa walaupun bunganya nol, selama utang harus dibayar kembali, namanya UTANG DAN BUKAN BANTUAN. Atas komentar ini saya tegaskan bahwa dengan kekuasaan saya, mulai hari in dalam APBN utang akan disebut "Utang" dan APBN yang minus akan disebut "Defisit." ltu terjadi sampai hari ini.


Buku: Nasib Rakyat Indonesia Dalam Era Kemerdekaan

Comments

Popular posts from this blog

Tanda-tanda Koreksi

6. Tanda-tanda Koreksi Sebelum menyerahkan naskah kepada dosen atau penerbit, setiap naskah harus dibaca kembali untuk mengetahui apakah tidak terdapat kesalahan dalam soal ejaan , tatabahasa atau pengetikan. Untuk tidak membuang waktu, maka cukuplah kalau diadakan koreksi langsung pada bagian-bagian yang salah tersebut. Bila terdapat terlalu banyak salah pengetikan dan sebagainya, maka lebih baik halaman tersebut diketik kembali. Untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan itu, lazim dipergunakan tanda-tanda koreksi tertentu, sehingga antara penulis dan dosen, atau antara penulis dan penerbit, terjalin pengertian yang baik tentang apa yang dimaksud dengan tanda koreksi itu. Tanda-tanda koreksi itu dapat ditempatkan langsung dalam teks atau pada pinggir naskah sejajar dengan baris yang bersangkutan. Tiap tanda perbaikan dalam baris tersebut (kalau ada lebih dari satu perbaikan pada satu baris) harus ditempatkan berturut-turut pada bagian pinggir kertas; bila perlu tiap-tiapnya dipis

Buku Komposisi Gorys Keraf

Daftar Isi Buku Komposisi Gorys Keraf Kata Pengantar Daftar Isi PENDAHULUAN Bahasa Aspek Bahasa Fungsi Bahasa Tujuan Kemahiran Berbahasa Manfaat Tambahan Kesimpulan BAB I PUNGTUASI Pentingnya Pungtuasi Dasar Pungtuasi Macam-macam Pungtuasi BAB II KALIMAT YANG EFEKTIF Pendahuluan Kesatuan Gagasan Koherensi yang baik dan kompak Penekanan Variasi Paralelisme Penalaran atau Logika BAB III ALINEA : KESATUAN DAN KEPADUAN Pengertian Alinea Macam-macam Alinea Syarat-syarat Pembentukan Alinea Kesatuan Alinea Kepaduan Alinea 5.1 Masalah Kebahasaan 5.2 Perincian dan Urutan Pikiran BAB IV ALINEA : PERKEMBANGAN ALINEA Klimaks dan Anti-Klimaks Sudut Pandangan Perbandingan dan Pertentangan Analogi Contoh Proses Sebab - Akibat Umum - Khusus Klasifikasi Definisi Luar Perkembangan dan Kepaduan antar alinea BAB V TEMA KARANGAN Pengertian Tema Pemilihan Topik Pembatasan Topik Menentukan Maksud Tesis dan Pengungkapan Maksud

Bagian Pelengkap Pendahuluan

2. Bagian Pelengkap Pendahuluan Bagian pelengkap pendahuluan atau disebut juga halaman-halaman pendahuluan sama sekali tidak menyangkut isi karangan. Tetapi bagian ini harus disiapkan sebagai bahan informasi bagi para pembaca dan sekaligus berfungsi menampilkan karangan itu dalam bentuk yang kelihatan lebih menarik. Biasanya bagian pelengkap pendahuluan dinomori dengan mempergunakan angka Romawi. Bagian pelengkap pendahuluan biasanya terdiri dari judul pendahuluan, halaman pengesahan, halaman judul, halaman persembahan, kata pengantar, daftar isi, daftar gambar dan tabel, dan halaman penjelasan kalau ada. Bila karangan itu akan diterbitkan sebagai buku, maka bagian-bagian yang diperlukan sebagai persyaratan formal adalah: judul pendahuluan, halaman belakang judul pendahuluan, halaman judul, halaman belakang judul, halaman persembahan dan halaman belakang persembahan kalau ada, kata pengantar, daftar isi, daftar gambar atau tabel serta halaman penjelasan atau keterangan kalau