Jenis Fonem Jenis fonem yang dibicarakan di atas (vokal dan konsonan) dapat dibayangkan sebagai atau dikaitkan dengan segmen-segmen yang membentuk arus ujaran. Kata bintang , misalnya, dilihat sebagai sesuatu yang dibentuk oleh enam segmen — /b/, /i/, /n/, /t/, /a/, /ŋ/. Satuan bunyi fungsional tidak hanya berupa fonem-fonem segmental. Jika dalam fonetik telah diperkenalkan adanya unsur-unsur suprasegmental, dalam fonologi juga dikenal adanya jenis fonem suprasegmental. Dalam bahasa Batak Toba kata /itəm/ berarti '(pewarna) hitam', sedangkan /itɔm/ (dengan tekanan pada suku kedua) berarti 'saudaramu'. Terlihat bahasa yang membedakan kedua kata itu adalah letak tekanannya, sehingga dapat dikatakan bahwa tekanan bersifat fungsional. Lain lagi yang diperlihatkan dalam contoh bahasa Inggris berikut. Di sini perubahan letak tekanan tidak mengubah makna leksikal kata, tetapi mengubah jenis katanya. Kata benda Kata kerja ‘import ‘impor’ ...
PENGANTAR
Boleh dikata, pada umumnya rakyat dan masyarakat berpendapat dan merasakan bahwa setelah 70 tahun merdeka, kualitas kehidupan berbangsa dan bernegara kita mengalami kemerosotan yang parah.
Dengan mengatakan demikian, saya sama sekali tidak mengingkari banyaknya capaian yang kita peroleh dalam pembangunan di era kemerdekaan. Yang paling menonjol adalah bangkitnya gedung-gedung pencakar langit di kota-kota besar, mal-mal supermewah, daerah permukiman dalam bentuk kota-kota satelit yang mandiri, serta cukup menonjolnya beberapa orang sangat kaya yang sudah termasuk dalam kelompok orang terkaya di dunia. Gaya hidup mereka bagaikan miliuner-miliuner dari negara sangat maju yang tampil dengan pesawat jet pribadi. Juga keseluruhan entourage kepresidenan yang sangat mirip dengan Presiden AS, dengan mobil antipeluru yang dari luar saja sudah terlihat tidak kalah dengan mobil Presiden AS dengan merek lain. Tidak hanya itu, juga dengan pesawat RI I yang harganya USDIOO juta.
Jelas juga bahwa yang saya gambarkan di atas hanya berlaku untuk bagian terkecil dari seluruh rakyat Indonesia. Kesenjangan ekonomi dan sosial budaya antara golongan kaya dan golongan miskin luar biasa besarnya. Gini ratio atau Lorenz curve memperlihatkan bahwa kesenjangan antara si kaya dan si miskin semakin menganga.
Belum lama lalu Bank Dunia mengumumkan bahwa ukuran tentang miskin atau tidaknya adalah pendapatan USD 2 per orang per hari. Ini berarti, paling sedikit 115 juta rakyat Indonesia termasuk dalam kategori miskin. Dengan nilai tukar rupiah yang I USD = Rp14.000, pengeluaran dari paling sedikit 115 jura rakyat Indonesia adalah sebesar Rp28.000 per hari atau Rp840.000 per bulan. Kalaupun garis kemiskinan kita tambah dengan 50% atau USD 3 per orang per hari, pendapatannya menjadi 3 X Rp14.000 = Rp42.000 per hari atau Rp1.260.000 per bulan. Dengan pendapatan yang jauh di bawah UMR ini jumlah penduduk miskin ten- tunya jauh lebih besar dari 115 juta orang. Saya bertanya-tanya pada diri sendiri, apakah dengan angka-angka ini, pendapatannya sama dengan segobang sehari, ketika kita masih dijajah?
Elite bangsa kita yang setiap harinya mengeluarkan pendapat di berbagai media massa tidak percaya bahwa kemiskinan sebagian besar rakyat Indonesia telah sedemikian parahnya. Ini disebabkan karena mereka hidup di perkotaan, tidak pernah masuk ke kantong-kantong kemiskinan di perdesaan. Karena itu, yang mereka saksikan setiap harinya adalah orang-orang miskin di perkotaan seperti pemulung, manusia gerobak, pengemis, anak jalanan, penghuni bantaran sungai dsb., yang tampaknya cukup sehat.
Biasanya, yang menyuarakan bahwa rakyat kita jauh lebih sejahtera dalam zaman kemerdekaan ini adalah golongan menengah ke atas yang memang sangat nyaman hidupnya. Namun, jumlahnya sangat kecil. Di zaman penjajahan juga ada orang-orang Indonesia yang sangat kaya raya, terutama yang bersedia menjadi komprador pemerintah Hindia Belanda. Namun, kondisi ini tidak bisa diterima oleh rasa keadilan, oleh perikemanusiaan. Terutama di zaman penjajahan Belanda yang praktis tidak mempunyai industri. Meskipun memiliki industri manufaktur yang ringan, keseluruhan nilai tambah yang diraih oleh VOC dan kemudian diraih Oleh pemerintah Hindia Belanda adalah kekayaan alam yang tidak dibuat Oleh manusia, tetapi yang dikaruniakan kepada seluruh bangsa Indonesia sebagai udara, air, dan burni beserta segala sesuatu yang terkandung di dalamnya. Pemerintah Hindia Belanda tidak sempat mengeduk sumber daya alam secara besar-besaran. Yang mereka lakukan adalah mempekerjakan rakyat Indonesia bagaikan budak pada per- kebunan-perkebunan yang mereka bangun, yang sampai sekarang masih produktif.
Dalam era kemerdekaan, bagian terbesar dari keseluruhan kekayaan alam bangsa Indonesia dieksploitasi habis-habisan oleh korporasi asing dengan beberapa gelintir bangsa Indonesia yang bersedia dijadikan kompradornya. Jadi, kalau dahulu perusahaan dagang VOC yang "merampok" kekayaan bangsa kita dan kemudian dilanjutkan serta diperkuat oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai penjajah, dalam era kemerdekaan, beberapa elite bangsa Indonesia yang dilindungi oleh pemerintahnya sendiri yang menggantikan posisi VOC dan pemerintah Hindia Belanda, menghabisi kekayaan alam bangsa kita dengan perbandingan yang kurang lebihnya sama, yaitu bagian terbesar untuk asing dan bagian ter- kecil untuk bangsa Indonesia. Korporasi asingnya bukan perusahaan-perusahaan Belanda, tetapi perusahaan multinasional dan transnasional yang lebih dahsyat skala dan volume "perampokannya", karena kemampuan modal dan penguasaan teknologi mereka yang tiada bandingannya dengan zaman penjajahan Belanda. Tentang hal ini akan diuraikan lebih mendetail dalam bab-bab selanjutnya.
Dengan gambaran di atas, nasib bagian terbesar dari rakyat Indonesia dalam alam kemerdekaan tidak ada bedanya dengan nasibnya dalam era penjajahan.
Tidak dapat diingkari bahwa aspek ekonomi dalam kehidupan seluruh bangsa sangat besar pengaruhnya. Itulah yang dikatakan "de materiele onderbouw bepaalt de geestelijke bovenbouw", yang berarti bahwa kesejahteraan materi menentukan kesejahteraan rohaniah, atau kemajuan ke- budayaan dan peradaban tidak mungkin dilaih tanpa kesejahteraan material sebagai landasannya.
Itulah juga alasannya mengapa para pendiri bangsa kita menganggap kemerdekaan sebagai "jembatan etnas" menuju pada kesejahteraan dan kemakmuran materiil yang berkeadilan. Dengan gambaran di atas sebagai pengantar, marilah kita telaah aspek-aspek penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sambil memikirkannya secara mendalam, apakah ada kemajuan selama kita merdeka sampai sekarang?
Buku: Nasib Rakyat Indonesia Dalam Era Kemerdekaan
Comments
Post a Comment