Jenis Fonem Jenis fonem yang dibicarakan di atas (vokal dan konsonan) dapat dibayangkan sebagai atau dikaitkan dengan segmen-segmen yang membentuk arus ujaran. Kata bintang , misalnya, dilihat sebagai sesuatu yang dibentuk oleh enam segmen — /b/, /i/, /n/, /t/, /a/, /Å‹/. Satuan bunyi fungsional tidak hanya berupa fonem-fonem segmental. Jika dalam fonetik telah diperkenalkan adanya unsur-unsur suprasegmental, dalam fonologi juga dikenal adanya jenis fonem suprasegmental. Dalam bahasa Batak Toba kata /itÉ™m/ berarti '(pewarna) hitam', sedangkan /itÉ”m/ (dengan tekanan pada suku kedua) berarti 'saudaramu'. Terlihat bahasa yang membedakan kedua kata itu adalah letak tekanannya, sehingga dapat dikatakan bahwa tekanan bersifat fungsional. Lain lagi yang diperlihatkan dalam contoh bahasa Inggris berikut. Di sini perubahan letak tekanan tidak mengubah makna leksikal kata, tetapi mengubah jenis katanya. Kata benda Kata kerja ‘import ‘impor’
Kepaduan Wacana: Koherensi
Di atas telah dikemukakan bahwa pemarkah kohesi tertentu, seperti kata yang diulang, kata yang dilesapkan, pronomina, demonstrativa, konjungsi, sinonim, metonim, dan antonim, dapat menciptakan wacana yang padu dan wajar. Bagaimanapun, dapat saja kepaduan wacana tercipta tanpa pemarkah kohesi. Perhatikan contoh berikut.(20) Istri (mengetuk pintu kamar mandi): Ada telepon dari Joko!
Suami (sedang mencuci baju di kamar mandi): Lagi tanggung, nih! Lima belas menit lagi, deh!
Istri: Oke.
Dalam petikan dialog antara suami dan istri di atas tidak ada pemarkah kohesi yang digunakan. Namun, peserta komunikasi, yaitu suami dan istri, saling mengerti. Kita pun sebagai pendengar atau pembaca kiranya memahami dialog di atas — sehingga dialog di atas merupakan wacana. Apa yang menyebabkan dialog (20) di atas terpahami meskipun tidak ada pemarkah kohesi di dalamnya? Koherensi (coherence) beroperasi di dalam dialog tersebut.
Koherensi adalah 'keberterimaan suatu tuturan atau teks karena kepaduan semantisnya'. Secara lebih spesifik, koherensi diartikan sebagai 'hubungan antara teks dan faktor di luar teks berdasarkan pengetahuan seseorang'. Pengetahuan seseorang yang berada di luar teks itu sering disebut konteks bersama (shared-context) atau pengetahuan bersama (shared-knowledge). Kepaduan wacana dalam dialog (20) tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
Kata tanggung harus dihubungkan dengan konteks di luar teks, yaitu kegiatan suami mencuci baju, sehingga istri dan siapa pun yang mendengar dan membaca Lagi tanggung, nih! memahami bahwa sebenarnya suami hampir menyelesaikan pekerjaan mencuci baju itu. Pengetahuan — berdasarkan pengalaman atau kebiasaan bertelepon — yang dimiliki istri maupun pendengar akan menghubungkan tuturan Lima belas menit lagi, deh! dengan hubungan telepon dari Joko. Dengan demikian, istri akan berasumsi (berpraanggapan) bahwa suami memintanya untuk mengatakan kepada Joko, si penelepon, bahwa ia harus menelepon kembali dalam waktu lima belas menit ke depan.
Konteks atau pengetahuan bersama pada umumnya muncul dalam wujud penafsiran mitra tutur, pendengar, atau pembaca atas tindak tutur, praanggapan, dan implikatur — cermati kembali definisi pertuturan dan implikatur dalam Bab "Pragmatik" dan praanggapan dalam Bab "Aspek Kognitif Bahasa". Konteks atau pengetahuan bersama inilah yang kemudian menjadi titik berat analisis pragmatik. Contoh-contoh berikut menjelaskan bagaimana kepaduan wacana tetap dipertahankan meskipun tidak ada pemarkah kohesi dan seolah-oleh antarbagian tidak berhubungan. Apabila pertuturan, dan implikatur dicermati, koherensi wacana dapat dijelaskan.
(21) Roni: Saya lapar sekali.
Asti (bergegas menuju dapur): Tunggu sebentar, ada nasi dan lauk di dapur.
(22) Surya: Bu Ani tidak ada di rumah malam ini.
Rina: Wah tidak seperti biasanya.
(23) Ayah: Bapak sudah berangkat?
Ibu: Kopinya saja belum diminum, Pak.
Ayah: Oh.
Dialog antara Roni dan Asti dalam contoh (21) adalah dialog yang koheren. Wacana terpahami karena tanggapan Asti yang tepat. Tanggapan Asti yang demikian muncul karena Asti merasakan adanya tindak ilokusi di dalam tuturan Roni, yaitu permintaan mengambilkan makanan, meskipun tipe kalimat yang digunakan oleh Roni bukan kalimat perintah. Dialog dalam contoh (22) juga koheren dengan tanggapan Rina yang tepat karena dari tuturan Bu Ani tidak ada di rumah malam ini ia mempraanggapkan Ada Bu Ani di dalam rumah dan Bu Ani biasanya ada di rumah pada (setiap) malam (ini). Sementara itu, dialog dalam contoh (23) menunjukkan bagaimana implikatur beroperasi. Dialog terpahami dengan tanggapan Ibu yang tepat terhadap pertanyaan Ayah. Tuturan Kopinya saja belum diminum, Pak. mempunyai maksud tertentu sehingga dikatakan mengandung implikatur. Implikaturnya adalah Bagas belum berangkat karena ia belum minum kopi. Jadi, sebenarnya Ibu hendak mengatakan bahwa Bagas belum berangkat, tetapi ia memilih tuturan lain yang mengandung maksud itu.
Selain pemarkah kohesi, penunjang koherensi wacana adalah konektivitas. Suatu wacana tidak harus secara tersurat memuat alat gramatikal (konjungsi) yang dapat menghubungkan satu gagasan dengan gagasan lain. Dengan kata lain, hubungan logis antarbagian dalam wacana dapat diciptakan tanpa alat gramatikal. Perhatikan contoh tuturan berikut.
(24) Dia sakit perut. Dia makan sambal terlalu banyak.
Contoh (24) tersebut mengandung konektivitas kausal secara tersirat. Alih-alih menggunakan konjungsi karena, hubungan antara kalimat pertama dan kedua memanfaatkan pengetahuan bersama yang secara konseptual terwujud dengan urutan sebab-akibat makan sambal terlalu banyak — sakit perut.
Buku: Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Bahasa
Comments
Post a Comment