Skip to main content

Jenis Fonem

Jenis Fonem Jenis fonem yang dibicarakan di atas (vokal dan konsonan) dapat dibayangkan sebagai atau dikaitkan dengan segmen-segmen yang membentuk arus ujaran. Kata bintang , misalnya, dilihat sebagai sesuatu yang dibentuk oleh enam segmen — /b/, /i/, /n/, /t/, /a/, /Å‹/. Satuan bunyi fungsional tidak hanya berupa fonem-fonem segmental. Jika dalam fonetik telah diperkenalkan adanya unsur-unsur suprasegmental, dalam fonologi juga dikenal adanya jenis fonem suprasegmental. Dalam bahasa Batak Toba kata /itÉ™m/ berarti '(pewarna) hitam', sedangkan /itÉ”m/ (dengan tekanan pada suku kedua) berarti 'saudaramu'. Terlihat bahasa yang membedakan kedua kata itu adalah letak tekanannya, sehingga dapat dikatakan bahwa tekanan bersifat fungsional. Lain lagi yang diperlihatkan dalam contoh bahasa Inggris berikut. Di sini perubahan letak tekanan tidak mengubah makna leksikal kata, tetapi mengubah jenis katanya. Kata benda Kata kerja ‘import ‘impor’

Ejaan di Indonesia

Ejaan di Indonesia

Ejaan di Indonesia

Sistem ejaan di Indonesia yang menggunakan huruf latin dimulai sejak kedatangan orang Eropa ke Nusantara. Ejaan latin yang dipakai untuk bahasa Melayu dan bahasa Indonesia sejak abad ke-16 mengalami perubahan berkali-kali. Mula-mula setiap penulis buku mempunyai aturan sendiri untuk menuliskan vokal, konsonan, kata, kalimat, jeda, dan sebagainya. Jadi, kita dapat membayangkan betapa sulitnya mengajarkan bahasa Melayu dengan sistem ejaan yang berlainan itu. Hal itu menjadi lebih ruwet lagi karena bahasa Melayu digunakan di Hindia Belanda (Indonesia) yang dijajah Belanda, dan Tanah Semenanjung (Malaysia) yang dijajah Inggris. Dengan demikian, cara mengeja bahasa Melayu pun dipengaruhi oleh bahasa penjajahnya, yaitu bahasa Belanda dan bahasa Inggris. Oleh karena itu, pada tahun 1897 A.A. Fokker, Sr. mengusulkan penyeragaman ejaan melayu dengan huruf latin di dua daerah jajahan tersebut. Pada tahun 1901 Ch.A. van Ophuijsen dibantu oleh Engku Nawawi Gelar Soetan Ma'mur dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim menyusun sebuah sistem ejaan guna mengakhiri kekacauan ejaan sampai saat itu di Hindia Belanda. Ejaan itu dimuat dalam buku Kitab Logat Melajoe. Ejaannya dikenal dengan nama Ejaan van Ophuijsen.

Dua tahun setelah kemerdekaan RI, Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan, Soewandi, menetapkan penyusunan ejaan yang lebih sederhana daripada Ejaan van Ophuijsen. Ejaan itu diberi nama Ejaan Republik atau Ejaan Soewandi. Inisiatif Soewandi untuk menyederhanakan dan menyelaraskan ejaan dengan perkembangan bahasa mendapat sambutan baik.

Perbandingan Ejaan di Indonesia

Masalah ejaan muncul kembali ketika diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia Kedua di Medan pada tahun 1954. Dalam kongres itu diputuskan membentuk sebuah panitia yang menyusun peraturan ejaan bahasa Indonesia yang praktis. Pada tahun 1957 panitia ini berhasil menyusun sebuah ejaan yang dinamakan Ejaan Pembaharuan.

Selanjutnya pada tahun 1959 terjadi kesepakatan antara Republik Indonesia dan Persekutuan Tanah Melayu (Malaysia) untuk menyamakan ejaan bahasa di kedua negara itu. Konsep ejaan yang disusun dikenal dengan nama Ejaan Melindo (Melayu-Indonesia). Namun, karena terjadi konfrontasi dengan Malaysia, peresmian ejaan ini diurungkan. Setelah masa konfrontasi selesai, usaha penyamaan ejaan tahun 1959 dihidupkan kembali. Pada tahun 1972 Presiden RI menetapkan ejaan baru yang bernama Ejaan Yang Disempurnakan. Ejaan inilah yang kita pakai sampai saat ini. Pada tahun 1972 itu juga pemerintah Malaysia meresmikan Ejaan Baru Bahasa Malaysia. Walaupun namanya berlainan, pada intinya kedua ejaan itu sama. Pada halaman 85 tabel perbandingan ejaan-ejaan yang ada di Indonesia.

Ejaan Pembaruan 1957 dan Ejaan Melindo 1959 serta Ejaan Baru 1966 belum pernah diresmikan. Antara Ejaan Baru 1966 dan EYD 1972 terdapat persamaan dalam pemakaian huruf; perbedaan antara keduanya hanya terletak pada perincian kaidah-kaidahnya saja.


Buku: Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Bahasa

Comments

Popular posts from this blog

Tanda-tanda Koreksi

6. Tanda-tanda Koreksi Sebelum menyerahkan naskah kepada dosen atau penerbit, setiap naskah harus dibaca kembali untuk mengetahui apakah tidak terdapat kesalahan dalam soal ejaan , tatabahasa atau pengetikan. Untuk tidak membuang waktu, maka cukuplah kalau diadakan koreksi langsung pada bagian-bagian yang salah tersebut. Bila terdapat terlalu banyak salah pengetikan dan sebagainya, maka lebih baik halaman tersebut diketik kembali. Untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan itu, lazim dipergunakan tanda-tanda koreksi tertentu, sehingga antara penulis dan dosen, atau antara penulis dan penerbit, terjalin pengertian yang baik tentang apa yang dimaksud dengan tanda koreksi itu. Tanda-tanda koreksi itu dapat ditempatkan langsung dalam teks atau pada pinggir naskah sejajar dengan baris yang bersangkutan. Tiap tanda perbaikan dalam baris tersebut (kalau ada lebih dari satu perbaikan pada satu baris) harus ditempatkan berturut-turut pada bagian pinggir kertas; bila perlu tiap-tiapnya dipis

Buku Komposisi Gorys Keraf

Daftar Isi Buku Komposisi Gorys Keraf Kata Pengantar Daftar Isi PENDAHULUAN Bahasa Aspek Bahasa Fungsi Bahasa Tujuan Kemahiran Berbahasa Manfaat Tambahan Kesimpulan BAB I PUNGTUASI Pentingnya Pungtuasi Dasar Pungtuasi Macam-macam Pungtuasi BAB II KALIMAT YANG EFEKTIF Pendahuluan Kesatuan Gagasan Koherensi yang baik dan kompak Penekanan Variasi Paralelisme Penalaran atau Logika BAB III ALINEA : KESATUAN DAN KEPADUAN Pengertian Alinea Macam-macam Alinea Syarat-syarat Pembentukan Alinea Kesatuan Alinea Kepaduan Alinea 5.1 Masalah Kebahasaan 5.2 Perincian dan Urutan Pikiran BAB IV ALINEA : PERKEMBANGAN ALINEA Klimaks dan Anti-Klimaks Sudut Pandangan Perbandingan dan Pertentangan Analogi Contoh Proses Sebab - Akibat Umum - Khusus Klasifikasi Definisi Luar Perkembangan dan Kepaduan antar alinea BAB V TEMA KARANGAN Pengertian Tema Pemilihan Topik Pembatasan Topik Menentukan Maksud Tesis dan Pengungkapan Maksud

Bagian Pelengkap Pendahuluan

2. Bagian Pelengkap Pendahuluan Bagian pelengkap pendahuluan atau disebut juga halaman-halaman pendahuluan sama sekali tidak menyangkut isi karangan. Tetapi bagian ini harus disiapkan sebagai bahan informasi bagi para pembaca dan sekaligus berfungsi menampilkan karangan itu dalam bentuk yang kelihatan lebih menarik. Biasanya bagian pelengkap pendahuluan dinomori dengan mempergunakan angka Romawi. Bagian pelengkap pendahuluan biasanya terdiri dari judul pendahuluan, halaman pengesahan, halaman judul, halaman persembahan, kata pengantar, daftar isi, daftar gambar dan tabel, dan halaman penjelasan kalau ada. Bila karangan itu akan diterbitkan sebagai buku, maka bagian-bagian yang diperlukan sebagai persyaratan formal adalah: judul pendahuluan, halaman belakang judul pendahuluan, halaman judul, halaman belakang judul, halaman persembahan dan halaman belakang persembahan kalau ada, kata pengantar, daftar isi, daftar gambar atau tabel serta halaman penjelasan atau keterangan kalau