Jenis Fonem Jenis fonem yang dibicarakan di atas (vokal dan konsonan) dapat dibayangkan sebagai atau dikaitkan dengan segmen-segmen yang membentuk arus ujaran. Kata bintang , misalnya, dilihat sebagai sesuatu yang dibentuk oleh enam segmen — /b/, /i/, /n/, /t/, /a/, /Å‹/. Satuan bunyi fungsional tidak hanya berupa fonem-fonem segmental. Jika dalam fonetik telah diperkenalkan adanya unsur-unsur suprasegmental, dalam fonologi juga dikenal adanya jenis fonem suprasegmental. Dalam bahasa Batak Toba kata /itÉ™m/ berarti '(pewarna) hitam', sedangkan /itÉ”m/ (dengan tekanan pada suku kedua) berarti 'saudaramu'. Terlihat bahasa yang membedakan kedua kata itu adalah letak tekanannya, sehingga dapat dikatakan bahwa tekanan bersifat fungsional. Lain lagi yang diperlihatkan dalam contoh bahasa Inggris berikut. Di sini perubahan letak tekanan tidak mengubah makna leksikal kata, tetapi mengubah jenis katanya. Kata benda Kata kerja ‘import ‘impor’
Pelinting Tiga Generasi: "Rokok Yang Baik Itu Begini Lho!"
Hasan bukanlah seorang pelinting rokok, ia hanya mengonsumsinya. Setiap pagi sebelum berangkat ke pabriknya di kawasan Tangerang, ia selalu menyempatkan diri mampir ke warung depan kosnya untuk membeli rokok. Karena sudah menjadi rutinitas selama tiga tahun, si penjual bahkan tidak perlu menanyakan rokok yang diminta oleh Hasan: dua batang Dji Sam Soe, satu untuk dihisap pagi hari ketika menunggu bus jemputan, sedang yang kedua disimpan untuk dinikmati ketika istirahat siang bersama rekan kerjanya.
Jika ditanyakan apa yang membuat Hasan fanatik pada merek Dji Sam Soe pasti ia akan menjawab, "rasanya nikmat!" Namun, jika ia ditanya bagaimana merek favoritnya bisa menghadirkan rasa yang selalu nikmat setiap harinya, ia mungkin tidak bisa menjawabnya. Dan Hasan tidak sendiri, jutaan orang yang hari itu mengonsumsi Dji Sam Soe juga tidak tahu jawabannya. Sayangnya, tulisan ini juga tidak bisa banyak membantu, namun ada sedikit petunjuk dari jutaan batang Dji Sam Soe yang dikatakan nikmat itu, ternyata 5.000 di antaranya dibuat oleh seorang perempuan bernama Sulami.
Bertolakbelakang dengan Hasan, Sulami—begitu nama lengkapnya—bukanlah perokok, ia hanya melintingnya. Berbeda dengan Hasan yang baru bekerja selama tiga tahun, Sulami telah bekerja di perusahaannya, Sampoerna, sejak 1952. Dari tangannyalah lahir kurang lebih 5.000 batang Dji Sam Soe setiap harinya. Bahkan sewaktu muda, Sulami mampu menghasilkan 5.500 batang per hari. "Hanya tiga orang yang mampu melinting sebanyak 5.500 batang pada masa itu," ujar Sulami mengenang masa jayanya dulu.
Meski sudah sekian lama bekerja di Sampoerna, Sulami tidak pernah melupakan hari pertamanya bekerja. Waktu itu ia diterima langsung oleh Liem Seeng Tee. "Wis lungguho neng kene (sudah duduklah di sini)," kata Sulami meniru ucapan Seeng Tee ketika menerima dirinya bekerja sebagai pelinting di perusahaan.
Tahun 1952 sebenarnya bukanlah periode yang mudah bagi Sampoerna. Perusahaan ini baru saja melewati bencana kehancuran pasca perang dan masuk ke dalam zaman revolusi yang penuh ketidakpastian ekoknomi. Untunglah segalanya berjalan mulus bagi Sulami. Ia berhasil bertahan di dalam perusahaan, bahkan ketika sang pendiri yang dulu menerimanya kerja sudah tidak ada lagi. Berbeda keahlian tangannya melinting rokok, Sulami menjadi bagian dari sedikit karyawan yang mampu bertahan selama tiga generasi di dalam Sampoerna.
Bagaimana Sulami melatih tangannya melinting, semua terpulang pada kemauannya untuk tekun berlatih. "Yang mengajari saya melinting Dji Sam Soe adalah Liem Seeng Tee sendiri selama dua hari," papar Sulami menjelaskan asal muasal keahliannya tersebut. Sulami pun masih ingat bagaimana kali pertama ia belajar melinting, duduk di lantai dengan Seeng Tee, yang layaknya mentor, mengawasinya dengan sabar dari belakang. Mulai dari pengetahuan tentang jenis-jenis bahan kretek sampai teknik melintingnya, semua didapat Sulami dari Seeng Tee.
Sulami bahkan masih ingat urutan kata-kata Seeng Tee sewaktu melatihnya: "Carane njumput mbako itu ngene, sata, dawane, lembutan, agal, dan cengkih diracik nganggo tangan. Iku mengko enak sedotane (cara mengambil tembakau itu begini, tembakau, tembakau panjang, tembakau cengkih halus, rajangan gagang tembakau, dan cengkih dicampur dengan tangan. Hisapannya nanti jadi enak)."
Seeng Tee juga memiliki standar khusus dalam menilai suatu hasil racikan, yakni ngepen (bentuk batang asimetris, ujung kepala lebih besar dari ujung bawah), nyetrip (bagian warna kuning untuk pegangan batang rokok sudah lurus), dan tidak gembos (kurang tembakau di tengah). Begitu teguhnya Seeng Tee memegang standar itu hingga Sulami selalu ingat bagaimana bosnya tidak pernah pergi sampai hasil lintingan persis seperti yang diminta. Semua harus ngepen! Itulah pesan-pesan utama Seeng Tee yang diingat Sulami. Begitu sakralnya istilah ngepen sampai menyebabkan Dji Sam Soe disebut sebagai "rokok pen".
Pekerjaan melinting rokok dilakukan Sulami setiap hari sejak pukul 06.00 hingga pukul 16.00 WIB. Untuk pekerjaan ini, ia menerima upah Rp. 1.800 setiap minggunya. Di era ketika kebutuhan harian hanya mencapai Rp 100, jumlah upah tersebut sangatlah lebih dari cukup bagi Sulami yang waktu itu baru berusia 16 tahun. "Gaji saya sudah besar lho dibanding pabrik lain," ungkap Sulami bangga. Kala itu Sampoerna memang terkenal dengan standar gajinya yang tinggi. Meski sangat rajin dalam bekerja, Sulami tetaplah seorang remaja. Di tengah kesibukannya, ia memiliki hobi menonton film di Bioskop Sampoerna. Untuk kursi kelas tiga, waktu itu ia hanya membutuhkan uang Rp 100 untuk dapat memenuhi rutinitas bulanannya tersebut.
Era pun berganti. Di bawah kepemimpinan Aga Sampoerna, berkat dedikasinya pada pekerjaan, Sulami menerima promosi jabatan menjadi mandor. Bersama rekan mandor lain yang jumlahnya 26 orang, Sulami berada langsung di bawah Manajer Produksi dan bertanggungjawab mengawasi proses produksi rokok. Untuk memudahkan koordinasi, waktu itu tiap mandor dikenali berdasasrkan kode huruf antara A sampai Z. Sulami mendapat identitas berkode S. Sulami membawahi 36 pekerja giling dan 108 pekerja gunting.
Sebagai Mandor, selain mencatat tingkat kehadiran pekerja, perhatian terbesar Sulami adalah pada kualitas produk Dji Sam Soe. Untuk menjamin mutu hasil produksi, Sulami memakai keahliannya membuat rokok untuk kemudian dijadikan contoh bagi para karyawan yang lain. "Rokok yang baik itu begini lho," tegas Sulami kepada para anak buanya. Sedangkan yang mengontrol dirinya adalah Aga. Sulami selalu ingat kata-kata dari Tuan Muda—begitu ia biasa memanggil Aga—ketika datang ke ruang produksi menemui para mandor, "sing ati-ati yo, momong anak buah (hati-hati membimbing anak buah)."
Berkat keterampilannya memimpin anak buah, Sulami di angkat oleh Aga menjadi seorang Bas (koordinator mandor) pada tahun 1970-an. Selain mengawasi proses produksi, tugas Sulami kini bertambah, ia juga bertanggungjawab untuk melatih para pelinting dan penggunting Dji Sam Soe yang baru masuk. Hasil didikannya ini kemudian ditempatkan di bawah para mandor yang berada di bawah koordinasi Sulami.
Sulami juga merupakan bagian dari sedikit orang yang mengalami langsung peralihan proses produksi Dji Sam Soe yang sebelumnya hanya duduk di lantai lalu berubah seiring dengan digunakannya kursi. Perubahan ini mengikuti peraturan pemerintah yang mewajibkan perusahaan kretek menyediakan meja dan kursi bagi para pelinting. Bagi Sulami dan anak buanya, peralihan ini tidaklah sederhana; karena telah terbiasa duduk di lantai, banyak dari anak buahnya yang mengeluh bahwa kaki mereka membengkak akibat terlalu lama menggantung.
Karena sangat kagum pada dedikasinya, Putera Sampoerna, yang menggantikan sang ayah pada akhir tahun 1970-an, memberikan penghargaan Peniti Emas kepada Sulami pada ulang tahun Sampoerna yang ke-57. Sulami kini berusia 67 tahun, ia hanya sempat sebentar saja mengabdi pada generasi ketiga Sampoerna. Meski keterampilannya tak tergantikan, namun Sulami kini tidak lagi sekuat dulu. Ilmu melintingnya diturunkan ke anaknya, Sulikah, yang telah bekerja di Taman Sampoerna sejak 1970. Melihat besarnya Sampoerna sekarang, orang mungkin akan bertanya apalah artinya seorang pelinting seperti Sulami. Untuk pertanyaan ini, Hasan (dan 5.000 orang perokok loyal Dji Sam Soe lainnya) pasti punya jawabannya. Toh merekalah yang membeli dan memuji rasa Dji Sam Soe setiap hari.
Buku: 4-G Marketing: A 90-Year Journey Of Creating Everlasting Brands
Comments
Post a Comment