Jenis Fonem Jenis fonem yang dibicarakan di atas (vokal dan konsonan) dapat dibayangkan sebagai atau dikaitkan dengan segmen-segmen yang membentuk arus ujaran. Kata bintang , misalnya, dilihat sebagai sesuatu yang dibentuk oleh enam segmen — /b/, /i/, /n/, /t/, /a/, /Å‹/. Satuan bunyi fungsional tidak hanya berupa fonem-fonem segmental. Jika dalam fonetik telah diperkenalkan adanya unsur-unsur suprasegmental, dalam fonologi juga dikenal adanya jenis fonem suprasegmental. Dalam bahasa Batak Toba kata /itÉ™m/ berarti '(pewarna) hitam', sedangkan /itÉ”m/ (dengan tekanan pada suku kedua) berarti 'saudaramu'. Terlihat bahasa yang membedakan kedua kata itu adalah letak tekanannya, sehingga dapat dikatakan bahwa tekanan bersifat fungsional. Lain lagi yang diperlihatkan dalam contoh bahasa Inggris berikut. Di sini perubahan letak tekanan tidak mengubah makna leksikal kata, tetapi mengubah jenis katanya. Kata benda Kata kerja ‘import ‘impor’
Akhir Generasi Pertama: Kepergian Dwi Tunggal
Setelah tiga setengah tahun berada dalam cengkraman Jepang, Seeng Tee akhirnya bebas pada tanggal 27 Agustus 1945. Ia pun segera bergabung dengan keluarganya di Surabaya dan memulai kembali bisnis rokoknya. Setelah anggota keluarga terkumpul, Seeng Tee memutuskan kembali ke Taman Sampoerna guna melihat keadaan di sana. Meskipun bentuk bangunan masih terlihat, namun tidak ada yang tersisa lagi untuk dimanfaatkan. Tidak adanya aliran air dan listrik kemudian memaksa Seeng Tee untuk menemukan tempat berlindung baru bagi keluarganya. Mereka akhirnya kembali ke rumah lama di Jalan Ngaglik.
Setelah keadaan kembali tenang, dan markas baru mulai terstruktur, Seeng Tee mengadakan sebuah acara "selamatan" guna merayakan berkumpulnya kembali keluarga secara utuh. Ia kemudian memilih tanggal 27 Agustus sebagai hari lahirnya Sampoerna. Karena Seeng Tee tidak pernah mengetahui kapan ia dilahirkan, maka hari tersebut sekaligus menjadi peringatan hari lahirnya Seeng Tee.
Bermodalkan harta sisa yang dibawa oleh Tjiang Nio, Seeng Tee mencoba membangun kembali Sampoerna dari reruntuhannya. Di tengah keterbatasan modal ini, hubungan baiknya dengan para penyalur tembakau dan cengkih memudahkannya untuk memulai aktivitas bisnis rokoknya. Hanya ada satu hal yang muncul di pikiran Seeng Tee jika mereka ingin kembali menjalankan usahanya, yakni membangkitkan kembali merek Dji Sam Soe. Strategi ini terbukti berhasil ketika pada tahun 1949 perusahaan mulai menemukan bentuknya kembali. Para agen mulai mengajukan pesanan rokok dan di sisi lain, warga mulai berdatangan kembali menyaksikan pertunjukan di teater. Hanya dibutuhkan waktu dua tahun sampai akhirnya Sampoerna kembali ke prestasi terakhirnya sebelum Jepang datang, yakni tiga juta batang Dji Sam Soe per minggu.
Namun, seiring dengan perginya Jepang, Indonesia dilanda gejolak politik era revolusi di mana sejumlah ideologi bersaing satu sama lain untuk memberi warna pada Republik yang masih dalam tahap prematur tersebut. Salah satu dari idelogoi tersebut adalah komunisme. Apa yang biasa dilakukan Seeng Tee dalam aktivitas kesehariannya, seperti menginspeksi lokasi pabrik, mengawasi ruang peracikan, berdiskusi dengan para manajer dan staf—rutinitas khasnya yang biasa disebut "managing by wandering"—kini tidak bisa lagi dilakukan setelah semangat komunisme semakin menguat. Sejak 1954 sampai kepergiannya, konflik antara atasan dan bawahan yang sering terjadi pada masa tersebut memaksa Seeng Tee harus menetap di ruang kerjanya, dan tidak bisa mengunjungi ruang yang dulu selalu dalam pengawasannya. Pekerjaannya kemudian diambil alih oleh para manajer di bawahnya.
Satu peristiwa menarik terkait dengan hal ini adalah ketika salah seorang manajer Seeng Tee ditahan polisi akibat tuduhan melanggar hak-hak karyawan. Mendengar hal tersebut, Seeng Tee, tanpa mengindahkan peringatan dari keluarganya, bergegas menuju kantor polisi untuk meminta klarifikasi. Ia merasa bahwa bawahannya tidak bersalah melainkan hanya mengikuti perintah darinya. Secara mengejutkan, Seeng Tee justru meminta polisi menahannya saja sebagai ganti pelepasan manajernya. Ketika esok harinya pabrik beroperasi seperti sedia kala, Seeng Tee sedang menghabiskan masa tahanannya selama 10 hari di kantor polisi. Entah karena pengalamannya selama di kamp tahanan Jepang yang kejam, namun Seeng Tee terlihat cukup tabah menghadapi proses hukuman polisi tersebut.
Sampoerna memang akhirnya berdiri kembali, meski itu tidak berarti salam bagi sang pendiri. Tidak lama setelah pabrik beroperasi normal, Seeng Tee meninggalkannya. Di mulai dari sang istri, Tjiang Nio, yang meninggal karena diabetes pada tanggal 22 Februari 1955. Kepergian sang pendamping setia ini nampaknya terlalu berat untuk diterima oleh Seeng Tee. Beberapa hari setelah Kwang menikah, tepatnya pada tanggal 10 Agustus 1956, di usianya yang ke-63, akibat kesehatan jantungnya yang terus memburuk Seeng Tee menyusul sang istri. Ia meninggalkan dua warisan sejarah yang hingga kini tidak berhenti berkembang, Sampoerna dan merek Dji Sam Soe.
Kunci kesuksesan bisnis Seeng Tee terletak pada keinginannya yang keras dan ambisi yang besar. Nilai-nilai ini diterapkan secara konsisten bukan hanya kepada dirinya, namun juga pada anak-anaknya. Begitu kerasnya Seeng Tee menanamkan aturan hidup tersebut hingga anak-anaknya jarang sekali diizinkan untuk bermain sepulang sekolah layaknya anak-anak yang lain. Seeng Tee merasa apa yang tidak didapatnya di masa lalu, yakni pendidikan formal, kini dapat dimiliki oleh keturunannya. Namun ia tidak ingin proses tersebut berhenti di dalam kelas saja. Pelajaran hidup, terutama terkait dengan bisnis, justru bisa didapat di luar kelas sepulang sekolah.
Bagi Seeng Tee, kasih sayang bukan ditunjukkan dengan pemanjaan yang berlebihan, namun lebih diukur pada seberapa besar ia mampu membentuk watak anak-anaknya. Tjiang Nio juga berperan pada proses pembentukan karakter ini. Kepada anak-anaknya kerap kali sang ibu menekankan betapa pentingnya untuk selalu "hemat namun tidak pelit."(18) Selain itu, untuk melatih daya berpikir anak-anaknya dan membuat hari-hari mereka bermakna, Tjiang Nio meminta mereka mencatat perenungan dan pelajaran yang didapat setiap hari dalam sebuah "diari kehidupan."
Baik Seeng Tee maupun Tjiang Nio sama-sama meyakini kebenaran petuah klasik Cina yang mengatakan bahwa lebih penting "untuk mengajarkan seorang anak bagaimana memancing ikan daripada memberinya ikan." Karena itulah bagi mereka berdua, seorang anak haruslah dibiarkan melakukan sesuatu, meskipun mungkin salah, dan belajar dari perbuatannya, ketimbang hanya diam tidak berbuat sesuatu apapun. Guna membantu proses pendidikan ini berjalan, pada tiap sesi makan malam keluarga, Seeng Tee dan istrinya selalu memberanikan anaknya untuk mendiskusikan atau mendebat isu tertentu yang mereka rasakan penting.
Mungkin karena itulah Aga Sampoerna memiliki karakter yang gemar berdiskusi. Ia dikenal memiliki hubungan personal yang baik dengan orang banyak dari segala macam kalangan. Setelah kepergian ayahnya, Aga mendapat mandat untuk meneruskan perusahaan keluarga. Menerima warisan ini berarti menerima tanggung-jawab untuk meneruskan tradisi besar keluarga yang dibangun sejak 1913. Berbekal pendidikan dari orangtua dan pengalaman bisnis yang ditekuninya, Aga menerima privilege untuk menjadi generasi kedua yang mengelola Sampoerna.
Buku: 4-G Marketing: A 90-Year Journey Of Creating Everlasting Brands
Comments
Post a Comment