Jenis Fonem Jenis fonem yang dibicarakan di atas (vokal dan konsonan) dapat dibayangkan sebagai atau dikaitkan dengan segmen-segmen yang membentuk arus ujaran. Kata bintang , misalnya, dilihat sebagai sesuatu yang dibentuk oleh enam segmen — /b/, /i/, /n/, /t/, /a/, /Å‹/. Satuan bunyi fungsional tidak hanya berupa fonem-fonem segmental. Jika dalam fonetik telah diperkenalkan adanya unsur-unsur suprasegmental, dalam fonologi juga dikenal adanya jenis fonem suprasegmental. Dalam bahasa Batak Toba kata /itÉ™m/ berarti '(pewarna) hitam', sedangkan /itÉ”m/ (dengan tekanan pada suku kedua) berarti 'saudaramu'. Terlihat bahasa yang membedakan kedua kata itu adalah letak tekanannya, sehingga dapat dikatakan bahwa tekanan bersifat fungsional. Lain lagi yang diperlihatkan dalam contoh bahasa Inggris berikut. Di sini perubahan letak tekanan tidak mengubah makna leksikal kata, tetapi mengubah jenis katanya. Kata benda Kata kerja ‘import ‘impor’
Corporate Responsibility
Selain menjadi sentra aktivitas bisnis rokoknya, Taman Sampoerna juga diperuntukkan bagi kegiatan-kegiatan massal untuk publik. Seeng Tee mengubah fungsi gedung yang terletak di tengah kompleks menjadi sebuah teater, lengkap dengan tata panggung pertunjukannya. Fungsi utamanya adalah untuk pemutaran film dan pertunjukan seni. Kecuali pada hari Tahun Baru Cina, setiap hari bioskop ini memutar film untuk umum. Bahkan ketika Charlie Chaplin mengunjungi Surabaya pada tahun 1932, ia menyempatkan diri datang ke bioskop ini. Selain film, sejumlah atraksi akrobatik dari Cina juga pernah datang menghibur warga Surabaya.
Momen indah bagi Seeng Tee adalah ketika menikahkan kedua anak perempuan tertuanya di dalam ruangan teater. Peristiwa bersejarah lainnya terkait dengan Taman Sampoerna ini adalah ketika ia menjadi bagian dari perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pada tahun 1938, Soekarno, presiden pertama Indonesia, sempat beberapa kali berpidato di tempat ini guna mengampanyekan kemerderkaan Indonesia kepada rakyat Surabaya.
Aktivitas di luar Taman Sampoerna juga tidak kalah bersejarahnya. Perhatian Seeng Tee pada bisnis rokoknya ternyata tidak membuatnya melupakan lingkungan dan karyawannya. Sejumlah hiburan rakyat, terutama Wayang Kulit kerap disajikan di depan Taman Sampoerna guna menghibur karyawan dan para tamu. Pada momen tahun baru, di depan Taman Sampoerna kerap juga diselenggarakan parade hiburan untuk warga Surabaya. Teater Taman Sampoerna terus terbuka untuk umum sampai tahun 1961 yakni ketika ruangan untuk proses produksi tidak lagi mencukupi.
Sibuknya situasi Taman Sampoerna ini sampai menyebabkan keluarga Sampoerna memutuskan untuk membeli sebuah rumah di kawasan sepi di Selatan Surabaya, yakni di daerah Prigen. Namun jangan menduga bahwa mereka mencari keheningan, karena Prigen justru dijadikan sebagai sentra aktivitas sosial dari Sampoerna. Menjadi kebiasaan dari Seeng Tee untuk mengundang anak-anak sekolah, kelompok-kelompok pemuda, dan organisasi kemasyarakatan lain untuk datang dan mengunjungi rumah mereka di Prigen pada akhir minggu. Sebuah lahan di samping rumah disewa untuk menyediakan tempat yang lebih luas guna menyambut para tamu tersebut.
Pada acara akhir minggu ini, segenap anggota keluarga dilibatkan dalam prosesi jamuan. Mulai dari memasak, mengantar makanan, sampai mengantar para tamu berkeliling lokasi rumah, menjadi rutinitas mingguan yang dibagi di antara anggota keluarga. Semua pekerjaan sosial ini adalah favorit dari Tjiang Nio: memberikan hiburan wisata kepada para tamu dipandangnya sebagai tanggung jawab sosial untuk "memberi sedikit apa yang selama ini telah diberikan banyak oleh masyarakat kepadanya." Sedangkan bagi keluarga Seeng Tee, mereka berharap bisa memberikan perspektif yang berbeda kepada anak-anaknya tentang budaya Indonesia, sesuatu yang tidak bisa diberikan oleh sekolah dan gaya hidup urban mereka.
Pelajaran sosial lain yang dicontohkan Tjiang Nio kepada keluarganya adalah ketika ia memanfaatkan sisa dari bungkus kertas tembakau yang tidak terpakai yang biasanya hanya dibuang atau dibakar. Tjiang Nio kemudian merancang sebuah kontrak di mana ia bisa menjual kembali residu tersebut ke perusahaan asal untuk kemudian didaur-ulang dan dijual kembali ke desa-desa penghasil tembakau. Hasil dari penjualan ini secara cerdik dimanfaatkan Tjiang Nio untuk kepentingan karyawannya. Dia membangun koperasi perusahaan—yang pertama di Jawa Timur—yang tugasnya adalah menjual kebutuhan hidup, seperti gula, beras, dan kain, kepada karyawan dengan harga yang lebih rendah dari harga pasaran.
Seperti akan kita lihat nanti, corporate responsibility—memberi sedikit apa yang selama ini telah diberikan banyak oleh masyarakat kepada Sampoerna—menjadi prinsip perusahaan yang dipraktekkan hingga kini. Baik dalam bentuk Yayasan Sampoerna ataupun Sampoerna Rescue Team, tanggung jawab sosial ini menjadi nilai yang diwariskan dari generasi ke generasi dalam keluarga besar Sampoerna.
Buku: 4-G Marketing: A 90-Year Journey Of Creating Everlasting Brands
Comments
Post a Comment