Skip to main content

Jenis Fonem

Jenis Fonem Jenis fonem yang dibicarakan di atas (vokal dan konsonan) dapat dibayangkan sebagai atau dikaitkan dengan segmen-segmen yang membentuk arus ujaran. Kata bintang , misalnya, dilihat sebagai sesuatu yang dibentuk oleh enam segmen — /b/, /i/, /n/, /t/, /a/, /ŋ/. Satuan bunyi fungsional tidak hanya berupa fonem-fonem segmental. Jika dalam fonetik telah diperkenalkan adanya unsur-unsur suprasegmental, dalam fonologi juga dikenal adanya jenis fonem suprasegmental. Dalam bahasa Batak Toba kata /itəm/ berarti '(pewarna) hitam', sedangkan /itɔm/ (dengan tekanan pada suku kedua) berarti 'saudaramu'. Terlihat bahasa yang membedakan kedua kata itu adalah letak tekanannya, sehingga dapat dikatakan bahwa tekanan bersifat fungsional. Lain lagi yang diperlihatkan dalam contoh bahasa Inggris berikut. Di sini perubahan letak tekanan tidak mengubah makna leksikal kata, tetapi mengubah jenis katanya. Kata benda Kata kerja ‘import ‘impor’

Obligasi Rekapitalisasi Perbankan (OR) Untuk Bank-Bank Umum Yang Rusak

Obligasi Rekapitalisasi Perbankan (OR) Untuk Bank-Bank Umum Yang Rusak


OBLIGASI REKAPITALISASI PERBANKAN (OR) UNTUK BANK-BANK UMUM YANG RUSAK

 

 

1. Blunder dan Malapetaka Terbesar Terkait BLBI

 

Penerbitan Surat Utang Pemerintah sejumlah Rp430 triliun dengan kewajiban pembayaran bunga sebesar Rp600 triliun.


Bank-bank yang tidak ditutup dinilai oleh IMF. Yang kecukupan modalnya atau Capital Adequacy Ratio (CAR)-nya antara minus 25% atau lebih baik, harus dinaikkan sampai menjadi 8% sesuai dengan ketentuan Bank for International Settlement (BIS) di Basel, Swiss.

Caranya ialah menaikkan modal ekuitinya, karena CAR adalah Modal Ekuiti dibagi dengan Asset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR). Karena pemerintah tidak mempunyai uang tunai untuk menaikkan Ekuiti, maka sebagai penggantinya diterbitkan Surat Utang yang diinjeksikan kepada bank-bank tersebut sampai CAR-nya mencapai Jumlah keseluruhan Rp430 triliun. Surat utang yang khusus diterbitkan untuk meningkatkan CAR bank-bank sampai memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh BIS dan diwajibkan oleh IMF ini disebut Obligasi Rekapitalisasi Perbankan atau Obligasi Rekap (OR).

Sebagaimana layaknya surat utang, OR juga mengandung kewajiban pembayaran bunga. Bunga yang dibayarkan kepada bank-bank yang memiliki OR ini juga dimaksud untuk memberi subsidi kepada bank-bank yang sedang menderita kerugian.

Jadi OR mempunyai dua fungsi. Yang pertama ialah meningkatkan kecukupan modal atau solvency. Yang kedua untuk memperoleh pendapatan bunga, agar bank tidak menderita kerugian. Segera saja timbul pertanyaan, apakah OR yang dimaksud untuk meningkatkan kecukupan modal sampai 8%, yang ditetapkan oleh BIS dengan sendirinya akan memberikan pendapatan bunga, sehingga rugi/laba bank impas? Tldak rugi dan tidak untung? Jelas tidak. Masalah ini akan saya bahas tersendiri.


 

OR membangkrutkan keuangan negara


Kalau setiap lembar dari OR dibayar repat pada waktunya oleh pemerintah, kewajiban pembayaran bunganya sebesar Rp600 triliun. Maka pemerintah tidak dapat menghindar dari kewajiban pembayaran utang OR yang diciptakan beserta kewajiban pembayaran bunga yang melekat pada OR tersebut sebesar Rp1030 triliun. Bagaimana kalau pada tanggal jatuh temponya, OR ternyata tidak dapat dibayar karena pemerintah tidak cukup mempunyai uang? Pembayarannya akan ditunda dengan menerbitkan surat utang baru untuk membayar OR yang sudah jatuh tempo. Bagaimana gambarannya?

Tiga staf sekretariat dari BPPN, yaitu Gatot Arya Putra, Ira Setiati, dan Dian Damayanti di tahun 2002 mengembangkan sebuah skenario dalam tiga buah tulisan. Yang pertama dan kedua sempat dimuat dalam Bulletin resmi BPPN berjudul "Analisa Ekonomi". Yang ketiga dilarang terbit. Namun, mereka mengirimkannya kepada saya selaku Kepala Bappenas dengan nama pengirim "Kami yang peduli kepada bangsa ini". Saya gandakan dan bagikan kepada para anggota DPR dan pers. Mereka bertiga langsung dipecat. Apa yang ditulis oleh mereka sehingga dilarang terbit, dan kemudian dipecat?

Seperti dikatakan tadi, dengan jumlah kewajiban pembayaran yang demikian besarnya, juga besar kemungkinannya bahwa pemerintah tidak akan mempunyai cukup uang untuk membayarnya tepat pada tanggal jatuh temponya. Atas dasar ini, ketiga staf BPPN tersebut mengembangkan enam buah skenario tentang sampai berapa besar membengkaknya kewajiban pemerintah membayar cicilan utang pokok beserta bunganya.

Skenario terbaik ialah kalau setiap lembar OR dapat dibayar tepat pada waktunya. Dalam hal ini, kewajiban pemerintah sebesar Rp1.030 triliun, yaitu Rp430 triliun utang pokok dan Rp600 triliun bunga.

Skenario terburuk ialah kalau setiap lembar OR yang jatuh tempo ditunda pembayamnnya dengan satu tenor yang sama, yaitu ditunda dengan jangka waktu yang sama dengan yang pertama kalinya diterbitkan. Dalam hal ini, bunganya akan membengkak luar biasa besarnya, sehingga jumlah kewajiban pembayarannya akan mencapai Rp14.OOO triliun.

Menteri Keuangan ketika itu, Boediono telah mencapai kata sepakat dengan tentang penataan ulang jadwal pemerintah membayar OR yang disebutnya dengan istilah reprofiling. Kesimpulannya, dengan reprofiling tersebut, kewajiban pembayaran oleh pemerintah akan membesar dengan Rp860 miliar per tahun selama 8 tahun.

Bagaimana hasilnya sampai sekarang sama sekali tidak jelas. Yang kita baca ialah diterbitkannya surat utang negara terus--menerus. Posisi utang negara, terutama yang berkaitan dengan OR tidak pernah diumumkan dengan jelas.

Seperti kita ketahui, yang sangat memberatkan keuangan negara sehingga boleh dikatakan sudah bangkrut ialah porsi pembayaran cicilan utang pokok dan bunga yang rata-rata 25% dari APBN.


 

Jalan pikiran yang konyol dalam mengejar Solvency dan Rentabilitas dengan satu Instrumen, yaitu Capital Adequacy Ratio (CAR)


Seperti telah ditulis tadi, apakah penerbitan OR dengan jumlah yang dimaksud untuk memenuhi kecukupan modal atau CAR sampai 8% dengan sendirinya juga memenuhi kebutuhan menutup kerugian bank sampai jumlah yang tidak berlebihan atau kekurangan?

Ternyata tidak. Secara teoretis dan logis saja bisa dikatakan bahwa tidak mungkin sama. Kalaupun pernah sama, itu sebuah kebetulan yang luar biasa.

Penyuntikan bank dengan OR dimaksud untuk memperbaiki kecukupan modal dengan surat utang. Maka jumlah dari keseluruhan surat utangnya yang bernama OR ditentukan sebesar angka yang membuat CAR 8%. Tlngkat suku bunga yang berlaku buat OR ditentukan yang sesuai dengan tingkat suku bunga yang berlaku. Apakah tingkat suku bunga ini lantas mesti menghasilkan pendapatan bunga yang impas dengan kerugian bank supaya bank tidak merugi arau istilahnya IMF ketika itu, bank tidak "bleeding" lagi?

Saya membuat analisis dari Neraca per 31 Desember 2002 dari 10 bank yang menerima OR paling banyak. Setelah tanggal tersebut analisis sangat sulit dibuat, karena laporan keuangan bank-bank yang menerima OR mengaburkan pendapatan bunga dari OR. Artinya, pendapatan bunga dari OR dijadikan satu dengan pendapatan bunga dari spread, yang merupakan laba bruto dari kegiatan bank.

Analisis dalam bentuk Tabel adalah sebagai berikut.

Kerugian Bank

Kita lihat bahwa dari sepuluh bank yang menerima OR sampai kecukupan modalnya memenuhi syarat ternyata pendapatan bunga yang diperoleh kelebihan banyak kalau sekadar hanya dimaksud untuk menutup kerugian supaya impas, atau supaya bank berhenti bleeding.

Kita lihat Bank Mandiri dari Tabel ini. Perolehan pendapatan bunga dari OR yang disuntikkan sebesar Rp21,435 triliun. Kerugiannya Rp15,625 triliun. OR yang disuntikkan kepada Bank Mandiri tidak hanya membuat Bank Mandiri berhenti bleeding, tetapi memperoleh laba sebesar Rp5,810 triliun, karena disubsidi sebesar Rp21,435 triliun dalam bentuk bunga OR.

Sekarang kita perhatikan BCA (no. 10 dalam Tabel). BCA merugi Rp5,192 triliun. Namun, injeksi OR sebesar Rp60 triliun membuahkan pendapatan bunga sebesar Rp8,592 triliun, sehingga akhirnya membukukan laba sebesar Rp3,4 triliun. Bank ini akhirnya dijual dengan nilai sebesar RplO triliun saja. Tentang ini saya bahas tersendiri.

 

Kekonyolan formula dalam menghitung Kecukupan Modal (CAR) dan akibatnya


Kecukupan Modal atau yang dinamakan CAR adalah Modal Ekuiti dibagi dengan Asset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR). Komponen dari AT MR bermacam-macam, dan karena itu, risikonya juga bermacam-macam. Caranya BIS menentukan AT MR dalam rangka penyehatan bank buat Indonesia dalam krisis sangat aneh.

Semua asset berupa pemberian kredit kepada perusahaan dianggap berisiko 100% tanpa peduli seberapa pun bonafidnya perusahaan yang memperoleh kredit.

Akibatnya, semakin bank yang disehatkan oleh pemerintah berhasil, semakin memburuk CAR-nya. Penjelasannya sebagai berikut. Andaikan pada satu waktu tertentu AT MR sebesar RPI, 25 triliun dan modal ekuitinya Rp100 miliar. Kalau dihitung, CAR-nya 8%, yaitu Rp100 miliar dibagi dengan RPI , 25 triliun dikali 100%. Setelah ini, ceteris paribus, bank berhasil menarik deposito dan tabungan sebesar Rp5 triliun yang seluruhnya disalurkan dalam bentuk kredit kepada perusahaan-perusahaan sangat bonafid. Modal ekuiti tidak bertambah, tetapi ATMR ketambahan Rp5 triliun, sehingga perhitungan CAR menjadi RP100 miliar dibagi dengan Rp6,25 triliun, yaitu ATMR lama sebesar Rp1,25 triliun ditambah dengan pemberian kredit baru sebesar Rp5 triliun. CAR-nya menjadi RPI 00 miliar dibagi dengan Rp6,25 triliun dikali 100% atau 1,6%. Memang ini kondisi ceteris paribus, sedangkan kenyataannya tidak. Laba bersih ditambahkan pada modal ekuiti yang dampaknya memperbesar CAR. Betul, tetapi membutuhkan waktu, terjadi time lag, sedang- kan penarikan deposito dan tabungan berjalan terus yang harus sesegera mungkin disalurkan ke sektor produktif, bukannya dibelikan SBI atau apa saja yang dijamin oleh pemerintah kalau mau dikatakan sehat.

Maka bank-bank tidak mau memberi kredit, maunya membeli SBI, karena SBI dan sejenisnya dianggap risikonya nol, sehingga tidak menurunkan CAR. Herankah kalau Loan to Deposit Ratio (I-DR) setelah sekian lamanya tetap saja rendah? Dan herankah kalau di masa mendatang keuangan negara akan tetap saja sangat-sangat berat? Sudah konyol seperti ini, Bank Indonesia yang independen merasa perlu terus-menerus menerbitkan SBI dengan tingkat suku bunga yang menarik. Kecuali memberikan pendapatan kepada bank-bank yang mempunyai likuiditas tanpa bekerja, BI juga mengeluarkan sangat banyak uang untuk membayar bunga SBI. Berapa seluruhnya juga sangat sulit ditelusuri, karena BI tidak pernah proaktif memberikan angka-angkanya secara transparan.

Yang memberatkan AP BN kita itu perbankan yang prinsip-prinsip pengelolaannya didasarkan atas resep-resep IMF dan ketentuan-ketentuan BIS, bukan naiknya harga minyak dunia! Jadi subsidi terbesar diberikan kepada perbankan. Pertama BLBI, lantas OR beserta bunganya, blanket quarantee, penentuan CAR yang asetnya berisiko nol kalau ada dukungan dari pemerintah dalam bentuk apa saja. Kenaikan harga minyak dunia tidak berdampak sama sekali pada pengeluaran pemerintah, karena kita mempunyai minyak mentah sendiri. Memang perlu impor, tetapi netonya masih surplus, kalau acuannya uang tunai yang harus dikeluarkan, seperti yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya.

 

2. Lagi-lagi Pikiran yang Benar Tidak Digubris


Penerbitan OR untuk memenuhi persyaratan BIS dalam CAR memang dipaksakan oleh IMF. Akibatnya adalah kewajiban pembayaran utang OR beserta bunganya yang boleh dikatakan membangkrutkan keuangan negara entah sampai kapan.

Sedikit orang yang mengerti dan memahaminya telah berbuat sekuat tenaga untuk menghindarinya. Semua upaya mereka gagal karena kuatnya pengaruh Berkeley Mafia. Yang pertama menyadari adalah Prof. Bambang Sudibyo selaku Menteri Keuangannya Gus Dur dan saya sendiri selaku Menko EKUIN-nya.

Kami berdua telah sepakat bahwa OR ditarik kembali Oleh pemerintah tanpa membuat bank-nya bangkrut sebelum dijual kepada swasta atau diprivatisasi, yang juga merupakan persyaratan IMF.

OR adalah piutang dari bank-bank yang telah menjadi milik pemerintah kepada pemerintah. Atau pemerintah berutang kepada bank-bank yang dimiliki oleh pemerintah sendiri. Jadi ibaratnya uang dari kantong kiri diberikan sebagai utang kepada kantong kanan dari kemeja yang sama. Maka urusannya hanya bagaimana tekniknya. Teknik atau cara penarikannya termasuk domain sub ilmu pengetahuan yang sama sekali tidak dipahami oleh para teknokrat Berkeley Mafia maupun teknokrat IMF. Atau mungkin mereka memahaminya, tetapi sengaja mau mengobral bank-bank dengan harga murah kepada para pengusaha swasta, baik asing maupun domestik. Dampaknya adalah kebangkrutan keuangan negara.

Cara mengeluarkannya yang pertama kali disepakati antara Menkeu (ketika itu) Bambang Sudibyo dan KKG secara diam-diam adalah mengganti OR dengan apa yang kami namakan zero coupon bond (ZCB). Ini adalah dokumen semacam obligasi yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan. Isinya jaminan pemerintah bahwa CAR senantiasa memenuhi persyaratan BIS. Namun, ZCB tidak mengandung kewajiban pembayaran bunga. Isinya hanya angka yang harus dianggap sebagai Modal Ekuiti agar CAR--nya 8%. Jadi ZCB adalah dokumen jaminan pemerintah untuk membawa solvency bank pada persyaratan IMF. Namun, ZCB sama sekali tidak mengandung kewajiban membayar bunga kepada pemegangnya. Bank yang merugi arau bleeding dibuat impas dengan subsidi tunai oleh pemerintah setiap bulannya yang jumlahnya persis sama dengan keruglannya.

Semua bank diberi tenggang waktu 5 tahun untuk menjadi sehat atas kekuatan sendiri. Kalau tidak ditutup, dan kalau sudah sehat atas kekuatan sendiri, ZCB ditarik. Kalau penyehatan harus dicapai melalui privatisasi lebih baik. Namun, ini berarti bahwa pembeli bank harus menginjeksi dengan uang tunai untuk secara riil meningkatkan modal ekuitinya.

Setelah itu, para ahli dalam bidang keuangan dan perbankan, atas dasar idealisme, mereka mengembangkan 6 (enam) alternatif solusi menarik OR sebelum bank dijual berikut OR-nya. Kesemua pikiran ini dimuat di Kompas tanggal 26 dan 27 Agustus 2002. Berbagai skenario solusi alternatif juga dibukukan dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris yang dibagikan kepada semua anggota DPR, Bank Dunia, para Menteri dan Pers. Tim para ahli ini terdiri atas Dr. Dradjat Wibowo sebagai koordinator dan para anggotanya adalah: Anthony Budiawan, Dandossi Matram, Djoko Retnadi, Eko B. Supriyanto, Elvyn G. Masassya, Ito Warsito dan Lenny Sugihat.

Semuanya tidak digubris walaupun akibatnya kita rasakan sendiri sampai sekarang, yaitu mengeluarkan uang sebesar sekitar 25% dari AP BN entah sampai kapan. Motifnya hanya satu, yaitu patuh pada IMF secara mutlak dan habis-habisan.

Prinsip dan inti pikiran Zero Coupon Bond yang sama sekali tidak digubris sebagai cara untuk menarik kembali OR adalah sama dengan Capital Maintenance Note yang berasal dari pikirannya Paul Volcker, yang diterapkan untuk menyelesaikan masalah sengketa BLBI antara Bl dan Menteri Keuangan. Apa lagi sebabnya kalau bukan mental inlander yang hanya bisa menerima pikiran orang berkulit putih?


3. Bank-Bank Dijual dengan OR di Dalamnya


Akhirnya tanpa ada selembar pun OR yang ditarik kembali, bank-bank eks swasta yang di dalamnya masih mengandung OR atau tagihan kepada pemerintah dalam jumlah besar dijual kepada swasta. Banyak swasta asing yang membelinya dengan harga murah.

OR-nya segera dijual kepada publik, sehingga pemerintah sudah tidak bisa mengenali lagi kepada siapa berutang.

Contoh yang paling spektakuler adalah penjualan BCA seperti yang telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya.

Sekarang setelah telat mikir sekitar 15 tahun, seperti halnya dengan perhatian terhadap BLBI beserta malapetakanya, orang baru menyadari betapa tidak masuk akal dan betapa pemerintah dirugikan dengan penjualan BCA, yang sangat bisa dihindari.

 

4. Nilai Tukar Rupiah


Kebijakan dalam bidang keuangan yang disertai dengan dinina-bobokannya kita dengan kekayaan alam yang melimpah menjadikan kita complacent, berpuas diri dengan kehidupan yang menggantungkan diri pada eksploitasi dan penjualan kekayaan alam tanpa adanya processing yang memberikan nilai tambah.

Kita mengetahui bahwa harga komoditi yang diekspor seperti apa adanya, yaitu yang sekadar digali, ditebang dan diekspor, sangat fluktuatif harganya.

Dengan demikian, perolehan devisa dari ekspor barang-barang ini juga sangat fluktuatif. Ketika harga komoditi turun, perolehan devisa kita segera saja anjlok, sedangkan konsumsi kita, baik dalam bentuk barang jadi atau bahan baku sangat tergantung dari impor. Itulah sebabnya bahwa Neraca Berjalan kita senantiasa negatif.

Kita juga terlampau complacent ketika modal asing masuk untuk diinvestasikan dalam deposito berjangka (karena bunga di Indonesia yang tinggi) atau dalam jual beli efek-efek di Bursa Efek Indonesia (BED. Moddal ini sangat footloose atau mudah datang dan juga mudah lari lagi.

Yang sedang kita alami deuvasa ini (tahun 2014—2015) ialah turunnya harga-harga komoditi yang membuat defisit transaksi berjalan bertambah besar. Nilai tukar rupiah curun, yang mengakibatkan orang takut memegang rupiah. Deposito dalam bank-bank di Indonesia ditarik untuk ditukarkan ke dalam USD. Dernikian juga dengan dana yang tertanam dalam efek-efek di BEI. Surat-surat berharga ini dijual untuk dijadikan USD. Permintaan terhadap USD meningkat, yang mengakibatkan nilai rupiah turun.

Hal ini tidak hanya akhir-akhir ini saja terjadinya. Kondisi yang selalu kekurangan pasokan valuta asing dapat kita lihat dari perkembangan kurs rupiah terhadap USD yang kita ambil mulai tahun 1964 saja, ketika Rupiah kita sudah mapan.

Sejak RI berdiri, kebijakan moneter mengalami gejolak yang eks- trem, karena berlakunya ORI (Oeang Republik Indonesia), uang rupiah Jepang, uang NICA, dipotongnya uang kertas secara fisik dsb. Kita mulai ketika kedudukan IDR sudah mantap, yaitu mulai tahun 1964, yang nilainya Rp250 per USD. Setelah itu perkembangannya sebagai berikut:

Kedudukan IDR

Perkembangan selanjutnya sampai saat ini (September 2015) yang sekitar Rp14.700 per USD tidak perlu dirinci, karena masih segar dalam ingatan kita. Jadi sejak tahun 1964 sampai buku ini ditulis, nilai tukar rupiah tergerus atau terdepresiasi sebesar 5.780%.

Bandingkan dengan Thailand, negara ASEAN yang tidak terlampau kuat seperti Singapore. Di tahun 1970 1 Thai Baht = USD 20. Sekarang di tahun 2015 1 Thai Baht = USD 36, atau nilai tukar Baht Thailand terdepresiasi sebesar 80% saja. Contoh lain yang ekonominya dianggap lebih buruk dari Indonesia adalah Filipina. Di tahun 1970 1 USD Peso 20. Di tahun 2015 satu USD Peso 47. Dalam jangka waktu yang sama, Peso terdepresiasi sebesar 135%

Sekarang kita lihat kernampuan kita memperoleh USD dibandingkan dengan kebutuhan kita akan USD. Kita tidak perlu menggali angka-angkanya sampai mendetail. Cukup dengan yang kita alami dalam kehi- dupan kita sehari-hari, apakah kebutuhan kita akan barang dan jasa lebih banyak yang diproduksi di dalam negeri atau lebih banyak yang diimpor.

Nilai rupiah cukup lama stabil pada kisaran Rp9.000 per USD. Ini tidak disebabkan oleh kemampuan kita mengekspor yang lebih besar daripada impornya, tetapi karena adanya modal masuk yang dipakai untuk berspekulasi di Bursa Efek Indonesia atau didepositokan di bank-bank di Indonesia dengan tingkat suku bunga yang berlipat ganda dibandingkan dengan yang berlaku di AS. Sifat modal asing ini cepat datang dan cepat terbang, yang dinamakan footloose. Sudah begitu, sekitar 70% dari pemain di BEI adalah perusahaan-perusahaan keuangan asing. Maka ketika kepercayaan terhadap stabilitas ekonomi goyah karena bingung tentang flip flop atau zig-zag-nya kebijakan Kabinet Kerja, penjualan neto efek-efek Oleh pemodal asing (foreign net sell) sebagai berikut:

Neto Efek

Dalam kurun waktu 1 bulan 3 hari, yaitu dari tanggal 27 April 2015 sampai tanggal 5 Juni 2015, hanya dari BEI saja, uang IDR yang dibelikan USD untuk dikembalikan ke negaranya masing-masing sebesar Rp11,875 triliun (Jakarta Post 8 Juni 2015).

Sebelum itu telah berbulan-bulan lamanya BEI mengalami foreign net sell. Hitunglah sendiri berapa yang telah dikeluarkan sejak penurunan nilai IDR dari Rp9.000 sampai sekarang. Belum lagi deposito yang dikeluarkan.


Buku: Nasib Rakyat Indonesia Dalam Era Kemerdekaan

Comments

Popular posts from this blog

Tanda-tanda Koreksi

6. Tanda-tanda Koreksi Sebelum menyerahkan naskah kepada dosen atau penerbit, setiap naskah harus dibaca kembali untuk mengetahui apakah tidak terdapat kesalahan dalam soal ejaan , tatabahasa atau pengetikan. Untuk tidak membuang waktu, maka cukuplah kalau diadakan koreksi langsung pada bagian-bagian yang salah tersebut. Bila terdapat terlalu banyak salah pengetikan dan sebagainya, maka lebih baik halaman tersebut diketik kembali. Untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan itu, lazim dipergunakan tanda-tanda koreksi tertentu, sehingga antara penulis dan dosen, atau antara penulis dan penerbit, terjalin pengertian yang baik tentang apa yang dimaksud dengan tanda koreksi itu. Tanda-tanda koreksi itu dapat ditempatkan langsung dalam teks atau pada pinggir naskah sejajar dengan baris yang bersangkutan. Tiap tanda perbaikan dalam baris tersebut (kalau ada lebih dari satu perbaikan pada satu baris) harus ditempatkan berturut-turut pada bagian pinggir kertas; bila perlu tiap-tiapnya dipis

Buku Komposisi Gorys Keraf

Daftar Isi Buku Komposisi Gorys Keraf Kata Pengantar Daftar Isi PENDAHULUAN Bahasa Aspek Bahasa Fungsi Bahasa Tujuan Kemahiran Berbahasa Manfaat Tambahan Kesimpulan BAB I PUNGTUASI Pentingnya Pungtuasi Dasar Pungtuasi Macam-macam Pungtuasi BAB II KALIMAT YANG EFEKTIF Pendahuluan Kesatuan Gagasan Koherensi yang baik dan kompak Penekanan Variasi Paralelisme Penalaran atau Logika BAB III ALINEA : KESATUAN DAN KEPADUAN Pengertian Alinea Macam-macam Alinea Syarat-syarat Pembentukan Alinea Kesatuan Alinea Kepaduan Alinea 5.1 Masalah Kebahasaan 5.2 Perincian dan Urutan Pikiran BAB IV ALINEA : PERKEMBANGAN ALINEA Klimaks dan Anti-Klimaks Sudut Pandangan Perbandingan dan Pertentangan Analogi Contoh Proses Sebab - Akibat Umum - Khusus Klasifikasi Definisi Luar Perkembangan dan Kepaduan antar alinea BAB V TEMA KARANGAN Pengertian Tema Pemilihan Topik Pembatasan Topik Menentukan Maksud Tesis dan Pengungkapan Maksud

Bagian Pelengkap Pendahuluan

2. Bagian Pelengkap Pendahuluan Bagian pelengkap pendahuluan atau disebut juga halaman-halaman pendahuluan sama sekali tidak menyangkut isi karangan. Tetapi bagian ini harus disiapkan sebagai bahan informasi bagi para pembaca dan sekaligus berfungsi menampilkan karangan itu dalam bentuk yang kelihatan lebih menarik. Biasanya bagian pelengkap pendahuluan dinomori dengan mempergunakan angka Romawi. Bagian pelengkap pendahuluan biasanya terdiri dari judul pendahuluan, halaman pengesahan, halaman judul, halaman persembahan, kata pengantar, daftar isi, daftar gambar dan tabel, dan halaman penjelasan kalau ada. Bila karangan itu akan diterbitkan sebagai buku, maka bagian-bagian yang diperlukan sebagai persyaratan formal adalah: judul pendahuluan, halaman belakang judul pendahuluan, halaman judul, halaman belakang judul, halaman persembahan dan halaman belakang persembahan kalau ada, kata pengantar, daftar isi, daftar gambar atau tabel serta halaman penjelasan atau keterangan kalau