Skip to main content

Jenis Fonem

Jenis Fonem Jenis fonem yang dibicarakan di atas (vokal dan konsonan) dapat dibayangkan sebagai atau dikaitkan dengan segmen-segmen yang membentuk arus ujaran. Kata bintang , misalnya, dilihat sebagai sesuatu yang dibentuk oleh enam segmen — /b/, /i/, /n/, /t/, /a/, /Å‹/. Satuan bunyi fungsional tidak hanya berupa fonem-fonem segmental. Jika dalam fonetik telah diperkenalkan adanya unsur-unsur suprasegmental, dalam fonologi juga dikenal adanya jenis fonem suprasegmental. Dalam bahasa Batak Toba kata /itÉ™m/ berarti '(pewarna) hitam', sedangkan /itÉ”m/ (dengan tekanan pada suku kedua) berarti 'saudaramu'. Terlihat bahasa yang membedakan kedua kata itu adalah letak tekanannya, sehingga dapat dikatakan bahwa tekanan bersifat fungsional. Lain lagi yang diperlihatkan dalam contoh bahasa Inggris berikut. Di sini perubahan letak tekanan tidak mengubah makna leksikal kata, tetapi mengubah jenis katanya. Kata benda Kata kerja ‘import ‘impor’

Jebakan Utang (Debt Trap)

Jebakan Utang (Debt Trap)


JEBAKAN UTANG (DEBT TRAP)


Dari utang luar ngeri yang terus-menerus diberikan dan diterima oleh Indonesia, telah lama kita masuk ke dalam jebakan utang (debt trap) .

Dampak dari jebakan utang sudah lama sangat terasa. Pertama tentunya besarnya jumlah utang luar negeri itu sendiri yang sudah melampaui batas-batas kewajaran kalau dihitung dengan ukuran Debt Service Ratio (DSR). Namun, pemerintah kemudian menyajikan angka utang negara yang dinyatakan dalam persen dari P DB yang menjadi jauh lebih kecil. Permainan statistik seperti ini diberlakukan pada semua lini.

Saat ini ditulis (Agustus 2015) DSR Indonesia sudah 60%, sedangkan untuk jangka waktu yang sangat lama dalam Orde Baru, DSR yang melampaui 20% sudah dianggap lampu merah. Sekarang wajar dan tidaknya jumlah utang luar negeri dinyatakan dalam persen dari P DB, sehingga menjadi 25%, dan inilah yang digembar-gemborkan sambil mengatakan bahwa jumlah utang luar negeri Indonesia masih rendah.

Walaupun Pemerintah dapat menunjukkan angka utang yang terus berkurang kalau dinyatakan dalam persen dari PDB, namun pos pengeluaran APBN untuk pembayaran cicilan utang pokok dan bunga mengambil porsi sangat besar. Akibatnya Pemerintah tidak dapat memberikan yang minimal kepada rakyatnya dalam memenuhi kebutuhan hidup yang paling mendasar, seperti pendidikan, pelayanan kesehatan dasar, penyediaan air bersih, listrik dan lingkungan yang sehat.


1. Krisis Moneter dan Ekonomi 1997—1998 dan IMF

Sistem ekonomi Indonesia, terutama sistem moneternya yang sudah dibuat sangat terbuka dan liberal, akhirnya mengakibatkan krisis moneter dan ekonomi di tahun 1997—1998, yang disusul dengan depresi yang cukup hebat. Kondisi moneter dan kepercayaan terhadap Indonesia hancur. Rupiah merosot nilainya dari Rp2.400 per dollar menjadi Rp16.OOO per dollar. Tingkat suku bunga per-nah mencapai untuk sekitar hampir satu tahun lamanya. Kepercayaan dunia internasional maupun para pengusaha Indonesia sendiri merosot sampai nol. Dalam kondisi seperti itu Indonesia sebagai anggota IMF menggunakan haknya minta bantuannya, yang diberikan dalam bentuk Extended Fund Facility atau yang lebih terkenal dengan sebutan program Letter of Intent.

Sudah terkenal bahwa IMF melakukan banyak kesalahan, karena mereka hanya mempunyai satu resep yang diterapkan di negara mana pun yang membutuhkan bantuannya. Itulah sebabnya dalam krisis regional di tahun 1997—1998 Malaysia tidak minta bantuan dari IMF. Pada akhir pemerintahan Megawati, sebuah badan evaluasi independen di dalam tubuh IMF yang bernama Independent Evaluation Office mengakui bahwa IMF telah melakukan banyak kesalahan di Indonesia. Setelah saya tidak dalam pemerintahan lagi pernah diajak berdiskusi dengan -fim ini di bawah pimpinan Mr. Tagaki.

Di Indonesia, kesalahan yang paling mencolok ialah perintah IMF untuk menutup 16 bank tanpa persiapan yang matang, dengan akibat BLBI sebesar RPI 44 triliun, Obligasi Rekapitalisasi Perbankan sebesar Rp430 triliun beserta kewajiban pembayaran bunganya dengan jumlah Rp600 triliun, atau seluruh beban menjadi Rp144 triliun BLBI, Rp430 triliun Obligasi Rekap. dan minimal Rp600 triliun beban bunganya, atau keseluruhannya Rp1.174 triliun. Kalau kurs dollar AS kita ambil Rp10.000 per dollar, jumlah ini ekuivalen dengan 117,4 miliar dollar AS.

OR adalah surat pengakuan utang oleh pemerintah yang dipakai untuk meningkatkan kecukupan modal dari bank-bank yang dirusak oleh para pemiliknya, tetapi sekarang menjadi milik pemerintah. Menjadinya milik pemerintah karena dalam keadaan darurat pemerintah harus menghentikan rush dengan BLBI. Karena BLBI yang dipakai oleh bank-bank swasta untuk menghentikan rush tidak mungkin dikembalikan, maka dana BLBI dikonversi menjadi modal ekuiti milik pemerintah. Sampai di sini OR merupakan injeksi dana oleh pemerintah kepada bank yang milik pemerintah, yang kejadiannya dalam keadaan darurat. Mestinya dan nalarnya, OR itu ditarik kembali sambil pulihnya bank-bank menjadi sehat kembali.

Tidak dernikian yang dilakukan oleh pemerintah atas instruksi atau petunjuk IMF. Bank-bank milik pemerintah Indonesia yang di dalamnya ada surat tagihan kepada pemerintah (atau dirinya sendiri) dijual dengan harga murah kepada swasta, antaranya banyak swasta asing. Contoh yang paling fenomenal tentang ketidakwarasannya kebijakan pemerintah da- lam bidang ini adalah penjualan BCA. 97% dari BCA sudah milik pemerintah. Di dalamnya ada OR atau surat utang pemerintah sebesar Rp60 triliun. IMF memaksa menjualnya kepada swasta dengan harga yang ekuivalen dengan Rp10 triliun, yaitu dengan harga Rp5 triliun untuk 5 1 %. Dalam waktu singkat Farallon (yang menang tender dalam membeli BCA) menggunakan likuiditas yang melimpah dari OR untuk meningkatkan kepemilikannya sampai praktis menjadi 100%. Jadi praktis BCA harus dijual dengan harga Rp10 triliun, dan yang memiliki BCA dengan harga itu serta merta mempunyai tagihan kepada pemerintah sebesar Rp60 triliun dalam bentuk OR yang dapat dijual kepada siapa saja, kapan saja dan di mana saja.

Satu hari sebelum penandatanganan penjualan BC-A kepada Farallon, atas prakarsa Menko Kesra Jusuf Kalla, diselenggarakan diskusi tidak resmi selama tiga jam di antara menteri-menteri yang berminat. Perdebatan sangat sengit. Sebelum tuntas, pada jam 18.00 Menko Dorodjatun menghentikan rapat, mengajak Meneg BUMN Laksamana Sukardi melapor kepada Presiden Megawati bahwa penandatanganan penjualan dapat dilakukan keesokan harinya. Dalam rapat tersebut hanya Kwik Kian Gie yang menentang sangat keras. Para menteri yang hadir semuanya menyetujui, sehingga diskusi dihentikan pada jam 18.00 dan keesokan harinya penjualan 51% BCA kepada Farallon dengan harga Rp5 triliun ditandatangani oleh Presiden Megawati.

Dengan demikian penjualan ini ekuivalen dengan menjual 100% dengan harga Rp10 triliun, yang di dalam bank itu ada OR sejumlah Rp60 triliun yang bisa dijual. Dengan injeksi OR, per 31 Desember 2002 perolehan bunga dari OR sebesar Rp8.591.568.000.000, yang lebih besar dari kerugiannya sebesar Rp3.400.066.000.000, sehingga terdapat laba neto dari OR sebesar Rp3.400.066.000.000. Dengan jumlah ini, dengan mudah pembeli BCA meningkatkan kepemilikannya, sehingga peningkatan kepemilikan sampai hampir 1000/0 dapat dibiayai dari uang yang ada di dalam BC-A, yang berasal dari Pemerintah. Ternyata memang ada indikasi bahwa segera setelah dibeli, pemegang saham mayoritas yang itu membagi dividen, yang Oleh pemiliknya digunakan untuk membeli terus saham-saham yang 49%. Alhasil, pembeli membayar Rp5 triliun, meningkatkan kepemilikannya dari laba nero yang sudah ada di dalam BCA sampai hampir 100%. Dan dengan kepemilikan yang hampir 100% ini pemilik BCA yang baru bisa menjual OR senilai Rp60 triliun. Luar biasa pandainya Farallon atau luar biasa bodohnya Pemerintah, atau luar biasa corrupted mind para penguasa ketika itu?

Kalau saja 97% saham BCA yang sudah di tangan pemerintah dan sudah diinjeksi dengan OR sebesar Rp60 triliun itu dipertahankan sebagai BUMN, nilai pasarnya (market capitalisasion) sangat-sangat luar biasa besarnya. Maka dapat dibayangkan bahwa pemerintah menerima ekuivalen Rp10 triliun untuk 97% BCA, berutang Rp60 triliun kepada pemilik BC-A. Nilainya di BEI, walaupun pada Saat ini (l Oktober 2015) IHSG dalam kondisi terpuruk, sebesar Rp295,86012 triliun. Perinciannya sebagai berikut: Harga saham per I Oktober 2015 RPI 2.000 per lembar. Jumlah saham 24.655.010.OOO lembar.

Ketika dalam sidang kabinet saya mengatakan bahwa kalau ditunggu sebentar lagi sampai ekonomi pulih dari krisis tahun 1997—1998, nilainya akan melonjak, saya dijawab oleh menteri yang bersangkutan bahwa dengan harga yang ekuivalen Rp10 triliun untuk 97%, recovery rate-nya sudah tinggi, sedangkan recovery rate rata-rata dari penjualan aset lainnya hanya 15%. Dan itu "menurut IMF normal buat negara yang sedang terkena krisis", tambahnya lagi.


2. Latar Belakang Kehancuran Sistem Perbankan Indonesia

Pemicu langsung dari krisis moneter dan ekonomi tahun 1997—1998 memang penularan dari negara„negara lain. Namun, buat Indonesia, akar permasalahan dari kehancuran sistem keuangan, terutama perbankan berawal jauh sebelumnya.

Biang keladinya lagi-lagi adalah liberalisasi. Dalam bulan Oktober 1988 lahir Paket Kebijakan Oktober yang terkenal dengan sebutan PAK TO. Isinya liberalisasi perbankan yang menentukan bahwa dengan modal disetor sebesar Rp10 miliar, seseorang dapat mendirikan bank. Maka serta merta sekitar 160 bank lahir. Ditambah dengan yang sudah ada, sekitar 200 bank-bank swasta beroperasi di Indonesia.

Bank-bank PAK TO didirikan, dimiliki dan dikelola Oleh para pedagang besar yang sama sekali tidak mempunyai latar belakang perbankan. Dana masyarakat yang dipercayakan disalahgunakan dengan cara memakainya untuk membiayai pendirian perusahaan-perusahaannya sendiri dengan mark up. Maka bank sudah kalah clearing. Namun, Bank Indonesia ketika itu bukannya menghukum, malahan memberikan fasilitas yang dinamakan Fasilitas Diskonto I. Setelah itu masih kalah clearing lagi. Oleh BI juga masih dilindungi dengan memberikan Fasilitas Diskonto Il. Bank-bank yang di dalamnya sudah rusak, tidak terlihat oleh publik yang memercayakan uangnya untuk disimpan pada bank-bank tersebut.

Dengan terjadinya krisis di tahun 1997 dan ikut campurnya IMF dalam penentuan kebijakan moneter dan ekonomi di Indonesia, 16 bank ditutup mendadak tanpa persiapan yang matang, dengan segala konsekuensinya seperti yang telah digambarkan di atas.



Buku: Nasib Rakyat Indonesia Dalam Era Kemerdekaan

Comments

Popular posts from this blog

Tanda-tanda Koreksi

6. Tanda-tanda Koreksi Sebelum menyerahkan naskah kepada dosen atau penerbit, setiap naskah harus dibaca kembali untuk mengetahui apakah tidak terdapat kesalahan dalam soal ejaan , tatabahasa atau pengetikan. Untuk tidak membuang waktu, maka cukuplah kalau diadakan koreksi langsung pada bagian-bagian yang salah tersebut. Bila terdapat terlalu banyak salah pengetikan dan sebagainya, maka lebih baik halaman tersebut diketik kembali. Untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan itu, lazim dipergunakan tanda-tanda koreksi tertentu, sehingga antara penulis dan dosen, atau antara penulis dan penerbit, terjalin pengertian yang baik tentang apa yang dimaksud dengan tanda koreksi itu. Tanda-tanda koreksi itu dapat ditempatkan langsung dalam teks atau pada pinggir naskah sejajar dengan baris yang bersangkutan. Tiap tanda perbaikan dalam baris tersebut (kalau ada lebih dari satu perbaikan pada satu baris) harus ditempatkan berturut-turut pada bagian pinggir kertas; bila perlu tiap-tiapnya dipis

Buku Komposisi Gorys Keraf

Daftar Isi Buku Komposisi Gorys Keraf Kata Pengantar Daftar Isi PENDAHULUAN Bahasa Aspek Bahasa Fungsi Bahasa Tujuan Kemahiran Berbahasa Manfaat Tambahan Kesimpulan BAB I PUNGTUASI Pentingnya Pungtuasi Dasar Pungtuasi Macam-macam Pungtuasi BAB II KALIMAT YANG EFEKTIF Pendahuluan Kesatuan Gagasan Koherensi yang baik dan kompak Penekanan Variasi Paralelisme Penalaran atau Logika BAB III ALINEA : KESATUAN DAN KEPADUAN Pengertian Alinea Macam-macam Alinea Syarat-syarat Pembentukan Alinea Kesatuan Alinea Kepaduan Alinea 5.1 Masalah Kebahasaan 5.2 Perincian dan Urutan Pikiran BAB IV ALINEA : PERKEMBANGAN ALINEA Klimaks dan Anti-Klimaks Sudut Pandangan Perbandingan dan Pertentangan Analogi Contoh Proses Sebab - Akibat Umum - Khusus Klasifikasi Definisi Luar Perkembangan dan Kepaduan antar alinea BAB V TEMA KARANGAN Pengertian Tema Pemilihan Topik Pembatasan Topik Menentukan Maksud Tesis dan Pengungkapan Maksud

Bagian Pelengkap Pendahuluan

2. Bagian Pelengkap Pendahuluan Bagian pelengkap pendahuluan atau disebut juga halaman-halaman pendahuluan sama sekali tidak menyangkut isi karangan. Tetapi bagian ini harus disiapkan sebagai bahan informasi bagi para pembaca dan sekaligus berfungsi menampilkan karangan itu dalam bentuk yang kelihatan lebih menarik. Biasanya bagian pelengkap pendahuluan dinomori dengan mempergunakan angka Romawi. Bagian pelengkap pendahuluan biasanya terdiri dari judul pendahuluan, halaman pengesahan, halaman judul, halaman persembahan, kata pengantar, daftar isi, daftar gambar dan tabel, dan halaman penjelasan kalau ada. Bila karangan itu akan diterbitkan sebagai buku, maka bagian-bagian yang diperlukan sebagai persyaratan formal adalah: judul pendahuluan, halaman belakang judul pendahuluan, halaman judul, halaman belakang judul, halaman persembahan dan halaman belakang persembahan kalau ada, kata pengantar, daftar isi, daftar gambar atau tabel serta halaman penjelasan atau keterangan kalau